Daftar Isi
Kegiatan penelitian yang dilakukan dalam jangka panjang, umumnya menjadi penelitian longitudinal. Jenis penelitian ini umum diterapkan untuk penelitian yang membutuhkan data dalam kurun waktu yang panjang.
Baik itu untuk penelitian di bidang kesehatan maupun di bidang lainnya. Sehingga peneliti di dalam penelitian ini akan melakukan pengamatan berulang dalam kurun waktu tertentu. Bisa dalam kurun satu tahun, dimana beberapa bulan dilakukan pengamatan ke sampel. Bisa juga berjalan sampai beberapa dekade.
Bagi peneliti yang nantinya rencana penelitian ideal menerapkan penelitian jenis ini. Tentunya perlu memahaminya dengan baik agar penerapannya juga berjalan lancar. Berikut informasinya.
Dikutip melalui Sampoerna University, penelitian longitudinal adalah suatu desain penelitian yang melibatkan observasi berulang terhadap variabel yang sama dalam jangka waktu tertentu.
Secara sederhana penelitian jenis longitudinal adalah kegiatan penelitian dimana peneliti akan melakukan pengumpulan data dalam beberapa kali dan dalam kurun waktu tertentu. Seperti yang diketahui, pengumpulan data memiliki beberapa metode atau teknik.
Beberapa penelitian melakukan pengumpulan data dalam satu kali waktu. Sehingga peneliti akan mengumpulkan data di waktu dan lokasi yang ditentukan. Kemudian data yang didapatkan akan langsung dianalisis.
Namun, ada juga penelitian yang membutuhkan data melalui pengamatan berulang. Sehingga peneliti akan mengambil data lebih dari satu kali di waktu berbeda. Biasanya untuk mendapatkan data lebih detail, data pembanding, dan data yang lebih lengkap.
Penelitian yang membuat pengambilan data dilakukan lebih dari sekali inilah yang disebut penelitian longitudinal. Sehingga menjadi kebalikan dari penelitian cross sectional, dimana pengambilan data hanya dilakukan sekali di satu waktu saja.
Penelitian dengan metode longitudinal ini memang cukup jarang diterapkan. Sebab dengan kebutuhan mengambil data sampai beberapa kali, praktis membutuhkan sumber daya tinggi. Sehingga lebih banyak peneliti menggunakan teknik cross sectional.
Meskipun begitu, beberapa penelitian membutuhkan teknik longitudinal. Misalnya penelitian di bidang kesehatan pada saat peneliti ingin mengetahui efek obat atau gaya hidup tertentu. Maka data hasil pengamatan tidak memungkinkan dilakukan dengan teknik cross sectional.
Lalu, kapan riset longitudinal diterapkan dalam penelitian? Dikutip melalui salah satu artikel ilmiah yang terbit di jurnal Dimensi: Journal of Architecture and Built Environment. Dijelaskan bahwa riset longitudinal diterapkan untuk penelitian yang bertujuan mengungkap proses atau hubungan produk terhadap proses. Misalnya seperti penelitian efek suatu obat tadi.
Riset atau penelitian longitudinal kemudian terbagi menjadi setidaknya 3 jenis. Dimulai dari studi panel, studi kohort, dan juga studi retrospektif. Berikut penjelasan rincinya:
Jenis yang pertama adalah studi panel atau panel study, yaitu salah satu jenis riset longitudinal yang dilakukan dengan mengamati subjek yang sama secara berulang dalam periode waktu tertentu.
Ciri khas dari studi panel adalah menggunakan sampel penelitian yang sama untuk riset jangka panjang. Sehingga peneliti akan fokus memperhatikan perubahan dan perbedaan dari sampel tersebut dari waktu ke waktu.
Contohnya, peneliti memilih 5 rumah tangga dalam penelitian yang dilakukan untuk mengetahui perubahan pendapatan dalam kurun 30 tahun. Maka setiap 5 tahun akan dilakukan pengumpulan data, sehingga diketahui ada tidaknya perubahan tingkat pendapatan dan faktor yang menjadi penyebabnya.
Jenis penelitian longitudinal kedua adalah studi kohort atau study cohort. Yaitu salah satu bentuk riset longitudinal yang mengikuti sekelompok orang (kohort) yang memiliki karakteristik tertentu dan melakukan pengamatan dari waktu ke waktu.
Pada studi kohort, peneliti bisa mengubah sampel penelitian selama memenuhi suatu karakteristik yang sudah ditetapkan. Sehingga berbeda dengan studi panel yang hanya fokus pada sampel penelitian yang sama.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui tingkat prestasi pelajar SMA di SMA N 1 Subang. Maka sampel penelitian setiap tahun berubah, yakni siswa kelas XII di SMA N 1 Subang tersebut. Tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya penurunan prestasi terhadap perubahan kurikulum yang diterapkan di sekolah.
Jenis ketiga dan terakhir dari riset longitudinal adalah studi retrospektif, yaitu kegiatan penelitian yang dilakukan dengan melihat data di masa lalu dan dibandingkan dengan data masa kini.
Jika jenis riset longitudinal lain akan fokus pada data masa sekarang dan data di beberapa tahun mendatang. Maka lain halnya dengan studi retrospektif yang akan mengamati dan menggunakan data di masa lalu.
Umumnya, jenis penelitian ini diterapkan pada penelitian di bidang kesehatan. Misalnya, seorang dokter yang melakukan penelitian pada pasien hipertensi untuk mengetahui efektivitas obat atau terapi.
Maka akan melihat rekam medis pasien di beberapa tahun lalu. Kemudian diikuti data pasien di masa sekarang. Sehingga membantu mengetahui efektivitas dari obat atau terapi pengobatan yang dijalani pasien hipertensi tersebut.
Jika membahas mengenai penelitian longitudinal, maka biasanya akan dikaitkan dengan penelitian cross sectional. Sebab secara umum, riset longitudinal adalah cross section yang dilakukan berulang.
Meskipun mirip dan bisa menjadi bagian satu sama lain, keduanya memang berbeda. Setidaknya ada 4 hal yang menjadi pembeda antara riset longitudinal dengan cross sectional. Berikut penjelasannya:
Perbedaan yang pertama adalah pada fokus utama penelitian, Cross section akan fokus untuk mendapatkan gambaran dari kondisi sampel penelitian dalam satu waktu. Sehingga data pengamatan diambil satu kali saja.
Berbeda dengan riset longitudinal yang fokus utamanya mengamati perubahan atau perkembangan sampel penelitian. Sehingga data diambil beberapa kali dalam kurun waktu tertentu. Hal ini memudahkan peneliti mengetahui perubahan dan perkembangan sampel dari waktu ke waktu.
Perbedaan yang kedua adalah pada aspek pengumpulan data. Riset longitudinal akan mengumpulkan data dalam beberapa kali dan untuk periode waktu yang lama. Misalnya mengumpulkan data hari ini dan dilanjutkan 3 bulan berikutnya.
Sementara pada penelitian cross sectional, pengumpulan data hanya dilakukan sekali di satu waktu. Jika peneliti memutuskan pengumpulan data hari ini, maka data penelitian didapatkan hari yang sama. Sebab tidak ada pengambilan data berulang di waktu lain.
Dengan segala karakteristiknya, penelitian longitudinal dan cross sectional punya perbedaan dari sisi kelebihan dan kekurangan. Cross sectional membuat penelitian lebih efisien, sebab pengumpulan data dilakukan sekali saja.
Namun tidak bisa menunjukan perubahan dan perkembangan sampel penelitian. Sehingga pada penelitian yang bertujuan mengetahui proses atau hubungan antara produk dengan proses tidak bisa diterapkan.
Sementara pada riset longitudinal, peneliti bisa mengetahui perubahan dan perkembangan sampel penelitian dalam jangka waktu tertentu. Hanya saja, penelitian ini membutuhkan sumber daya tinggi. Baik itu waktu, biaya, dan tenaga.
Seperti penjelasan sebelumnya, tujuan penelitian cross sectional dengan longitudinal berbeda. Secara mendasar, riset longitudinal bertujuan untuk memahami suatu proses maupun hubungan (efek) produk dengan proses.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui dampak penerapan metode pembelajaran daring di siswa SD kelas 1 sampai 6 SD. Maka penelitian memiliki produk berupa metode pembelajaran daring dan prosesnya pada dampaknya terhadap prestasi akademik siswa.
Longitudinal membantu memahami hubungan dua variabel tersebut dalam jangka panjang. Yakni dari siswa kelas 1 sampai siswa kelas 6 SD. Berbeda dengan cross sectional yang tujuan utamanya untuk mengetahui atau mengungkap suatu produk dalam penelitian.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui efek pembelajaran daring hanya untuk siswa SD kelas 6. Maka peneliti hanya mengamati siswa kelas 6 dan pengambilan data mengacu pada nilai ujian akhir. Sehingga mengabaikan nilai ujian tengah semester dan lainnya.
Dikutip melalui Octet Design Solutions Inc, penelitian longitudinal memiliki beberapa kelebihan sekaligus kekurangan. Kelebihan yang dimiliki antara lain:
Dalam riset longitudinal, peneliti akan mengambil data dalam beberapa kali di periode waktu tertentu. Hal ini membantu peneliti mendapatkan data yang lebih lengkap dan rinci.
Sehingga resiko mendapatkan data yang bias atau salah lebih kecil. Apalagi jika penelitian dilakukan untuk mengetahui efek suatu produk. Baik itu kebijakan, obat (di bidang kesehatan), dan sebagainya dalam jangka panjang.
Riset longitudinal juga membantu peneliti memahami proses dan efek produk dengan baik. Sebab dalam proses penelitian, peneliti bisa mengetahui dampak produk di awal sampai di periode akhir penelitian.
Peneliti dituntut untuk mengambil data berkala selama masa penelitian berlangsung. Sehingga peneliti dengan jelas mengetahui efek awal suatu produk yang diteliti. Disusul efek akhir dari produk tersebut.
Inilah alasan kenapa riset longitudinal direkomendasikan dalam penelitian di bidang kesehatan. Serta untuk menguji kebijakan pemerintah dalam kurun waktu tertentu, dimana efek suatu kebijakan umumnya tidak instan.
Kelebihan yang ketiga dari riset longitudinal adalah membantu peneliti menghindari recall bias atau bias ingatan. Bias ingatan secara sederhana adalah kondisi dimana populasi atau sampel penelitian lupa pada beberapa hal yang ditanyakan dan dibutuhkan peneliti.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui rekam medis penderita polio di keluarga X. Maka peneliti akan melakukan wawancara pada ayah sampel penelitian. Namun, karena penyakit yang diderita sang anak sudah berjalan lama bisa jadi ayahnya sudah lupa.
Riset longitudinal meminimalkan recall bias semacam ini. Sebab peneliti akan menghimpun data terkini, sehingga data tersebut dijamin diingat oleh sampel penelitian. Peneliti kemudian akan mengacu pada catatan data penelitian yang dihimpun di periode sebelumnya.
Tak hanya kaya akan kelebihan, penelitian longitudinal juga memiliki sejumlah kekurangan. Diantaranya adalah:
Riset longitudinal menuntut peneliti untuk melakukan pengambilan data berulang dan bisa dalam jangka panjang. Misalnya penelitian untuk durasi 10 tahun bahkan lebih. Kondisi ini membuat penelitian tersebut membutuhkan waktu panjang.
Dampaknya tentu semakin luas, sebab durasi penelitian yang panjang mempengaruhi kebutuhan sumber daya lain yang ikut meningkat. Misalnya kebutuhan dana penelitian lebih tinggi, jumlah SDM lebih tinggi, dan sebagainya.
Inilah alasan desain penelitian dengan konsep longitudinal jarang diterapkan. Khususnya untuk program hibah penelitian yang umumnya memiliki durasi pendek. Bisa monotahun, dan sekalipun multitahun rata-rata maksimal di 3 tahun.
Kelemahan kedua dari penelitian longitudinal adalah pada kemungkinan jumlah sampel atau populasi penelitian berkurang. Ada banyak faktor yang membuat jumlah sampel penelitian berubah. Baik faktor internal maupun eksternal.
Misalnya, salah satu sampel penelitian memutuskan untuk mundur karena menikah dan pindah ke negara lain mengikuti pasangan. Contoh lain, sampel penelitian berkurang karena sakit atau bahkan tutup usia.
Adanya perubahan jumlah sampel, tentunya menjadi resiko yang harus dipahami dan disiapkan solusinya agar penelitian bisa tetap berjalan. Apalagi riset longitudinal memakan waktu lama, dalam prosesnya jumlah sampel bisa berkurang seiring pergantian bulan dan tahun.
Penelitian longitudinal juga punya kelemahan dari resiko variabel penelitian yang berubah. Faktor yang menjadi penyebabnya juga beragam. Hal ini bisa terjadi karena penelitian dilakukan jangka panjang dan akan ada banyak perubahan dari berbagai aspek yang diteliti.
Misalnya, peneliti ingin mengetahui tingkat stres mahasiswa jurusan teknik mesin. Dalam penelitian berdurasi 4 tahun, ternyata ada pandemi Covid-19 sehingga kurikulum perkuliahan berubah.
Adanya perubahan yang tidak bisa dikontrol peneliti bisa memicu kebingungan. Yakni penyebab stres mahasiswa teknik ada pada materi, perubahan kurikulum, atau pada perubahan metode perkuliahan?
Peneliti yang menerapkan riset longitudinal dituntut juga untuk memahami berbagai resiko yang dihadapi di sepanjang masa penelitian. Sehingga bisa melakukan antisipasi saat resiko-resiko ini terjadi. Sebab memang rentan, karena durasi penelitian yang panjang.
Berikut adalah beberapa contoh judul penelitian longitudinal yang tentu perlu dianalisis, sehingga membantu menentukan penelitian yang dilakukan bisa memakai desain ini atau cross sectional:
Melalui penjelasan di atas, tentunya membantu memahami apa itu penelitian longitudinal dan kapan perlu diterapkan. Sehingga mendukung kelancaran penelitian yang akan dilaksanakan.
Pada saat menyusun suatu karya tulis tertentu, kadang di dalamnya terkandung kalimat asumsi. Misalnya, menjelaskan…
Dalam kegiatan penelitian, proses pengumpulan data menjadi tahap yang krusial. Dalam proses tersebut, peneliti bisa…
Dalam berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dan dalam menyusun karya tulis, tentunya akan mengacu pada…
Kegiatan penelitian yang memanfaatkan data dari sumber-sumber sekunder biasanya akan dianalisis dengan metode meta analysis…
Setiap bahasa di dunia, termasuk juga bahasa Indonesia memiliki kata sapaan atau nomina sapaan. Dalam…
Pernahkah mengalami dokumen Word tidak bisa diedit? Kondisi ini bisa saja terjadi, karena memang ada…