Mengenal perbedaan buku monograf dan referensi tentu penting bagi seorang dosen. Sebab kedua jenis buku ilmiah ini sama-sama wajib ditulis dan diterbitkan oleh dosen di Indonesia. Setiap tahun, setidaknya ada satu judul buku ilmiah berhasil diterbitkan dosen.
Buku monograf dan referensi kerap mencuri perhatian. Sebab keduanya sering dipandang sama. Padahal, selain dari nama yang berbeda, dilihat dari beberapa aspek kedua buku ini memang berlainan.
Jika dosen ingin menulis salah satunya, maka perlu memahami perbedaan tersebut. Sebab, bagaimana bisa menulis buku monograf jika masih menganggapnya sama dengan referensi? Begitu pula sebaliknya.
Sebelum membahas detail apa saja perbedaan buku monograf dan referensi. Maka bisa memahami dulu definisi masing-masing buku ilmiah ini. Sebab dari definisi ini, seorang dosen memiliki gambaran secara garis besar mengenai perbedaannya.
Dikutip melalui website resmi LPPM Universitas Riau (UNRI), dijelaskan bahwa buku monograf adalah tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya hanya pada satu topik dalam satu bidang ilmu kompetensi penulis.
Istilah “mono” di dalam buku monograf, pada dasarnya mengacu pada topik yang dibahas. Yakni berfokus pada satu topik saja di satu bidang keilmuan. Seperti yang diketahui, dalam satu bidang keilmuan ada banyak sekali topik. Maka salah satunya dipilih dosen dan dikembangkan menjadi buku monograf.
Isi dari buku monograf kemudian menjadi lebih spesifik dan mendalam. Sebab penulis akan fokus menjelaskan data atau informasi dari satu topik saja. Hal ini membantu isi buku lebih terfokus dan memberikan informasi lebih kompleks dibanding buku dengan banyak topik.
Dikutip melalui website Ebizmark, berikut adalah beberapa ciri khas dari buku monograf:
Definisi buku referensi dikutip dari website Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku yang substansi pembahasannya fokus pada satu bidang ilmu dan membahas topik yang cukup luas (beragam).
Jika buku monograf akan fokus membahas satu topik di satu bidang keilmuan. Maka di buku referensi akan membahas beberapa topik di satu bidang keilmuan. Buku referensi kemudian menjelaskan beberapa topik dan bisa dijadikan rujukan untuk menyusun karya tulis dengan topik lebih luas.
Hanya saja, karena banyak topik yang dijelaskan maka informasi di setiap topik cenderung lebih terbatas. Apalagi jika dibandingkan dengan buku monograf. Namun, penulis buku referensi juga bisa menyajikan informasi selengkap mungkin. Hanya saja berdampak pada jumlah halaman yang cukup banyak.
Buku referensi biasanya disusun oleh para dosen, baik secara tunggal maupun berkolaborasi. Sama seperti buku monograf dan buku ajar, buku referensi juga wajib diterbitkan oleh dosen mengikuti beberapa kriteria yang ditetapkan Ditjen Dikti.
Sama halnya dengan buku ilmiah lain, buku referensi juga memiliki beberapa ciri yang khas. Diantaranya adalah:
Meskipun ada perbedaan buku monograf dan referensi. Namun, kedua jenis buku ilmiah yang wajib disusun dosen ini juga memiliki banyak persamaan. Saking banyaknya, ada banyak orang yang menganggap keduanya adalah sama. Berikut persamaan tersebut:
Persamaan yang pertama antara buku monograf dengan buku referensi adalah sumber penulisan. Kedua jenis buku ilmiah ini diketahui bersumber dari hasil penelitian dosen.
Hasil penelitian dosen bisa dipublikasikan dalam bentuk artikel ilmiah ke prosiding maupun jurnal. Selain dari itu, bisa dipublikasikan dalam bentuk buku dan bisa menjadi buku monograf maupun referensi.
Bedanya, berhubung monograf fokus pada satu topik maka biasanya membahas satu hasil penelitian. Sementara untuk buku referensi bisa membahas beberapa penelitian yang memang meneliti di satu bidang keilmuan.
Persamaan yang kedua antara dua buku ilmiah ini adalah cara penyajian. Sebagai buku ilmiah maka keduanya disusun sesuai dengan alur logika keilmuan. Dimana diawali dengan membahas hal sederhana dan paling dasar.
Baru kemudian membahas ke pembahasan yang lebih kompleks dan mendalam. Jika dilihat dari tingkat kesulitan, maka isi pembahasan diawali dari hal-hal yang mudah menuju ke hal-hal lebih susah dan rumit.
Jika dilihat dari segi umum atau khusus, maka buku ilmiah ini akan disusun dengan alur dari hal umum menuju ke hal khusus. Tujuan dari pemakaian alur seperti ini adalah untuk memudahkan pembaca memahami isi buku karena disajikan runtut.
Hanya saja, di dalam buku referensi biasanya dimuat studi kasus, peta keilmuan, dan ilustrasi. Sehingga isinya lebih kompleks sejalan dengan banyaknya topik yang dibahas di dalam naskah.
Persamaan yang ketiga adalah dari gaya penyajian. Sebagai buku ilmiah sudah tentu gaya bahasa dan gaya penyajian data dilakukan secara formal. Sehingga menggunakan ragam kosakata baku.
Meskipun akan dijumpai istilah ilmiah, biasanya terbatas. Sekaligus ditambahkan informasi yang menjelaskan istilah ilmiah tersebut. Sebab, buku sendiri ditujukan untuk dibaca masyarakat luas dan tidak semuanya memahami istilah ilmiah.
Ragam kata baku bisa membantu pembaca memahami isinya dengan baik. Sehingga harus mengikuti ketentuan di dalam EYD. Hal ini membuat penulis buku ini perlu menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar saat mengembangkan naskah.
Persamaan yang ketiga dari buku monograf dan buku referensi adalah dari aturan penerbitan. Secara garis besar, kedua jenis buku ini wajib diterbitkan secara nasional. Sehingga pembacanya adalah seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, kedua jenis buku ilmiah ini juga wajib diterbitkan dengan ISBN. Sehingga para dosen perlu memilih penerbit yang memang resmi atau kredibel. Yakni merupakan anggota IKAPI agar bisa mengajukan ISBN ke Perpusnas.
Jika sudah memiliki ISBN maka akan diakui oleh Ditjen Dikti. Hal ini membantu penerbitan buku monograf maupun referensi bisa masuk ke pelaporan BKD. Sekaligus bisa menambah poin angka kredit untuk membantu dosen mengembangkan jenjang jabatan fungsional.
Penyusunan buku monograf dan buku referensi secara umum ditujukan untuk menunjang kegiatan pembelajaran. Khususnya pada pembelajaran terbimbing. Sehingga bisa dijadikan pegangan dosen dalam mengajar mahasiswa.
Jika buku ajar bisa dijadikan pegangan mahasiswa, maka berbeda dengan buku monograf dan referensi. Sebab ditujukan untuk dijadikan pegangan dosen agar bisa memaksimalkan kegiatan penyampaian materi.
Inilah alasan kenapa kedua jenis buku ilmiah ini perlu diterbitkn dan dipasarkan seluas-luasnya. Yakni untuk bisa dibaca dan dijadikan pegangan dosen di seluruh Indonesia dalam melaksanakan tugas pengajaran.
Meskipun tujuan utama dari penulisan dan penerbitan buku monograf dan referensi adalah untuk menjadi pegangan dosen dalam mengajar. Namun ruang lingkup penggunaan dari kedua buku ini tidak sebatas untuk pengajaran.
Ruang lingkup penggunaan juga mencakup untuk kegiatan penelitian. Artinya, baik buku monograf maupun referensi bisa dijadikan sumber inspirasi bagi para dosen untuk melakukan kegiatan penelitian. Serta dijadikan rujukan dalam melaksanakan penelitian tersebut.
Jadi, para dosen bisa menggunakannya untuk kegiatan pengajaran sekaligus untuk penelitian. Oleh sebab itu, buku ilmiah jenis ini wajib disusun oleh ahli di bidangnya karena memang isinya harus bisa dipertanggungjawabkan. Seab ruang lingkup penggunaannya untuk kegiatan-kegiatan akademik.
Persamaan yang terakhir antara buku monograf dengan buku referensi adalah bisa dijadikan rujukan. Sebagai buku ilmiah yang disusun oleh ahli di bidangnya. Sekaligus berisi data dari hasil penelitian.
Kemudian, proses penerbitannya pun akan dilakukan editing sampai proofreading oleh ahlinya. Maka memastikan kedua jenis buku ini memenuhi standar untuk terbit dan memiliki kualitas isi yang baik serta bisa dipertanggung jawabkan.
Oleh sebab itu, kedua jenis buku ini memenuhi syarat untuk dijadikan referensi atau rujukan. Baik rujukan dalam menyusun karya tulis ilmiah jenis apapun sampai rujukan dalam melakukan kegiatan penelitian.
Lalu, apa saja yang menjadi perbedaan buku monograf dan referensi? Meski memiliki banyak persamaan, sekali lagi kedua jenis buku ini adalah berbeda. Secara garis besar, setidaknya ada 3 hal yang menunjukan perbedaan tersebut. Yaitu:
Perbedaan yang pertama dan paling mudah disadari, apalagi setelah membaca definisi buku monograf dan referensi adalah pada substansi pembahasan. Buku monograf memiliki satu substansi pembahasan atau satu topik yang dikembangkan.
Berbeda dengan buku referensi yang membahas beberapa substansi dalam satu bidang keilmuan. Jika buku monograf satu topik, maka buku referensi bisa dua topik sampai beberapa topik sekaligus.
Buku referensi akan menyediakan informasi dari berbagai topik sehingga isinya bisa membantu pembaca mendapatkan rujukan untuk berbagai karya tulis. Sementara monograf memang hanya fokus pada satu topik, akan tetapi lebih terfokus dan informasi yang disajikan lebih kompleks atau mendalam.
Perbedaan buku monograf dan referensi yang kedua adalah pada bobot angka kredit. Meskipun kedua jenis buku ilmiah ini sama-sama membantu dosen dalam mendapatkan tambahan angka kredit. Akan tetapi jumlah angkanya berbeda.
Mengacu pada PO BKD 2021, dijelaskan bahwa buku monograf memberi tambahan angka kredit maksimal 20 poin. Sementara untuk buku referensi bisa mencapai 40 poin. Namun, umumnya buku referensi ditulis bersama dosen atau penulis lain.
Sesuai dengan ketentuan dari Kemendikbudristek, publikasi ilmiah yang disusun beberapa dosen maka KUM dibagi. Pembagian akan disesuaikan dengan posisi dan skala kontribusi keilmuan yang diberikan masing-masing penulis.
Perbedaan buku monograf dan referensi yang ketiga terletak pada bentuk terbitan. Buku monograf biasanya akan terbit satu kali. Sehingga satu judul hanya ada satu cetakan saja. Sekalipun ada cetak ulang, maka isinya cenderung sama dan jika ada perubahan maka skalanya kecil.
Berbeda dengan buku referensi yang bisa diterbitkan dalam beberapa jilid. Dimulai dari jilid pertama, kemudian beberapa tahun berikutnya di jilid kedua, begitu seterusnya. Jadi, buku referensi bisa dibagi menjadi beberapa jilid dan diterbitkan berurutan.
Hal ini sejalan dengan isi atau substansi pembahasan pada buku referensi yang memang lebih banyak atau beragam. Sehingga ada aturan yang menetapkan jika buku referensi bisa terbit dalam beberapa jilid. Baik terbit bersamaan maupun terbit berurutan.
Selain dari 3 perbedaan buku monograf dan referensi yang disebutkan. Tentunya masih sangat mungkin untuk menemukan perbedaan lainnya. Namun, secara garis besar 3 poin tersebut yang menjadi penanda kedua buku ini berbeda.
Memahami perbedaan buku monograf sekaligus referensi akan membantu menyusun keduanya dengan baik dan benar. Sebab tidak ada lagi resiko salah tulis, karena tertukar dengan buku monograf dan referensi.
Jika bingung, Anda bisa membaca buku panduan penyusunan buku monograf dan referensi yang biasanya disediakan pihak perguruan tinggi. Selain itu, bisa pula membaca kedua jenis buku ini karena memang sudah banyak dosen menulisnya. Hal ini membantu dosen lain untuk menemukan buku monograf dan referensi di berbagai toko buku sampai perpustakaan.
Setelah memahami persamaan sekaligus perbedaan buku monograf dan referensi. Maka dosen bisa fokus menentukan pilihan hendak menulis yang mana. Dalam PO BKD, dosen memiliki kewajiban menerbitkan satu judul buku dalam satu tahun.
Jika menerbitkan lebih dari satu judul maka tidak bisa masuk ke pelaporan BKD. Praktis, lebihan dari target penerbitan buku juga tidak menambah poin angka kredit. Namun, jika dosen merasa perlu menerbitkan lebih dari satu judul per tahun. Maka silahkan saja, tidak ada larangan. Hanya tidak bisa masuk BKD dan menambah angka kredit.
Lalu, mana yang sebaiknya ditulis dosen? Kedua jenis buku ini sama baiknya untuk ditulis rutin oleh dosen. Namun, bisa juga memilih yang dirasa paling sesuai. Terkait pilihan, masing-masing dosen bisa menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan.
Misalnya, untuk dosen yang ingin mengejar KUM jumlah tertentu agar tahun ini bisa mengajukan kenaikan jabatan fungsional. Maka kekurangan KUM bisa dijadikan dasar dalam menentukan jenis buku mana yang perlu ditulis. Jika memang di atas 20 poin, maka buku referensi adalah pilihan terbaik karena nilai angka kredit 40 poin. Begitu sebaliknya.
Bisa pula memilih dengan melihat tingkat kemudahan. Jika menyusun buku monograf dirasa lebih mudah. Maka bisa dijadikan pilihan. Begitu pula jika sebaliknya. Pada saat buku referensi dirasa lebih mudah disusun, maka bisa dijadikan pilihan.
Namun, akan lebih baik jika dosen rutin menulis berbagai jenis buku ilmiah secara bergantian. Misalnya tahun ini buku ajar, maka tahun depan buku monograf, tahun depannya lagi buku referensi. Begitu seterusnya.
Sebab semua jenis buku ilmiah wajib disusun dan diterbitkan oleh dosen. Selain itu, menulis lebih banyak jenis buku bisa meningkatkan keterampilan dosen dalam menulis. Sekaligus menjadi nilai tambah pada reputasi dosen. Sebab memiliki riwayat menerbitkan banyak buku dari berbagai jenis dan mengusung banyak topik.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman berkaitan dengan topik perbedaan buku monograf dan referensi dalam artikel ini. Jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share agar informasi dalam artikel ini tidak berhenti di Anda saja. Semoga bermanfaat.
Pada saat menerbitkan buku, penerbit yang dipilih sering menambahkan halaman prancis atau half title dalam…
Menggunakan tools pendeteksi AI tentu menjadi langkah tepat bagi guru dan dosen. Tools ini bisa…
Proses menulis biasanya diawali dengan menulis draft dan disebut sebagai draft pertama. Penulisan draft menjadi…
Salah satu tahapan penting dalam proses menulis adalah swasunting atau self editing. Melakukan swasunting membantu…
Menggunakan AI untuk parafrase memang menjadi pilihan banyak akademisi saat ini, baik itu dosen maupun…
Menggunakan AI untuk membuat mind mapping atau peta konsep, tentunya menjadi alternatif yang banyak dipilih.…