Salah satu strategi dalam meningkatkan produktivitas publikasi ilmiah adalah melakukan konversi naskah ilmiah atau konversi karya tulis ilmiah (KTI). Konversi dalam ruang lingkup kepenulisan menjadi rutinitas bagi akademisi yang memiliki kewajiban menulis dan menerbitkan karya tulis.
Konversi membantu dosen untuk mengubah format karya tulis ilmiah satu menjadi format karya tulis ilmiah lain. Dari satu sumber, dosen bisa mengembangkannya menjadi dua atau lebih karya tulis ilmiah.
Umumnya, para dosen akan melakukan konversi artikel ilmiah menjadi naskah buku. Namun, proses konversi ini tidak selalu semudah membalikan telapak tangan. Para dosen menghadapi banyak kendala dalam prosesnya, mulai dari keterbatasan kemampuan dan waktu. Lalu, seperti apa solusi terbaiknya? Baca sampai habis informasi ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kosakata konversi memiliki banyak definisi. Salah satunya, konversi adalah proses perubahan dari satu bentuk atau format ke bentuk atau format yang lain.
Dikutip melalui website Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), konversi memiliki definisi sebagai kegiatan pengubahan komponen dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Konversi ini biasanya terjadi untuk karya tulis ilmiah.
Secara umum, konversi naskah ilmiah adalah proses mengubah format satu karya tulis ilmiah menjadi format karya tulis ilmiah lain. Konversi pada naskah ilmiah terjadi dan bahkan perlu dilakukan untuk memperluas jangkauan ketika dipublikasikan.
Publikasi ilmiah dalam bentuk artikel ilmiah ke jurnal ilmiah, hanya bisa diakses pembaca dari kalangan masyarakat ilmiah sehingga jangkauannya terbatas dan tidak luas. Oleh karena itu, konversi menjadi buku dan diterbitkan adalah solusinya. Hal ini menjadikan karya ilmiah dibaca juga oleh masyarakat umum.
Pada dasarnya tidak semua karya tulis ilmiah bisa dilakukan konversi. Setidaknya ada empat jenis karya tulis ilmiah yang bisa dan umum dilakukan konversi, diantaranya:
Selain itu, konversi naskah ilmiah juga bisa diterapkan pada laporan penelitian dan juga makalah. konversi akan mengubahnya menjadi naskah buku.
Namun, tidak semua karya tulis ilmiah bisa diubah atau dikonversi menjadi semua jenis buku. Umumnya akan dikonversi menjadi buku panduan dan juga buku ilmiah atau buku akademik. Misalnya menjadi buku ajar, monograf, dan buku referensi.
Melakukan konversi naskah ilmiah bagi kalangan dosen memang tidak mudah. Adanya teknik tertentu dalam proses konversi harus dihadapkan pada tantangan kesediaan waktu sampai kemampuan. Apabila dosen berhasil melakukannya, berikut keuntungan melakukan konversi naskah ilmiah yang akan diperoleh:
Keuntungan yang bisa didapatkan dosen dari usaha konversi salah satunya meningkatkan jangkauan pembaca. Hal ini seperti penjelasan sekilas sebelumnya. Ketika hasil penelitian dipublikasikan ke jurnal saja, pembacanya terbatas.
Peneliti seperti dosen, tentu memiliki keinginan temuannya dalam penelitian bisa diketahui dan dimanfaatkan secara luas. Untuk memaksimalkan jangkauan pembaca, Anda perlu melakukan konversi naskah ilmiah.
Menerbitkan laporan penelitian menjadi buku, memberi akses bagi masyarakat luas untuk membaca dan memanfaatkannya. Hal ini sekaligus meningkatkan potensi sitasi, sehingga mendongkrak skor h-indeks dosen.
Konversi pada karya ilmiah juga membantu dosen mendapat keuntungan berupa perluasan manfaat hasil penelitian. Hal ini masih berkaitan dengan penjelasan di poin sebelumnya.
Jika hasil penelitian dipublikasikan dalam berbagai bentuk. Misalnya laporan penelitian, artikel pada jurnal, artikel pada prosiding, sampai diterbitkan menjadi buku. Maka akan dibaca lebih banyak orang. Temuan dalam penelitian pun bisa bermanfaat secara lebih luas.
Salah satu keuntungan melakukan konversi naskah ilmiah adalah memberi manfaat akademik bagi dosen. Mengurus publikasi ilmiah membantu dosen memenuhi ketentuan BKD (Beban Kerja Dosen).
Selanjutnya, publikasi tersebut bisa menambah poin angka kredit. Angka kredit dalam jumlah tertentu membantu memenuhi syarat pengajuan kenaikan jenjang jabatan fungsional.
Semakin banyak publikasi dimiliki, semakin cepat dosen memenuhi BKD dan sampai ke puncak karir, yakni menjadi Guru Besar. Oleh sebab itu, konversi menjadi agenda rutin untuk memperoleh berbagai keuntungan akademik.
Melakukan konversi naskah ilmiah membantu dosen memiliki lebih banyak riwayat publikasi ilmiah. Tidak hanya artikel pada berbagai jurnal ilmiah saja, melainkan juga menerbitkan berbagai judul buku sesuai bidang keilmuan yang ditekuni.
Setiap publikasi ilmiah tersebut tentunya akan fokus pada topik di bidang keilmuan yang ditekuni sehingga masyarakat luas bisa dengan mudah mengetahui dosen memiliki kepakaran di bidang apa.
Jadi, melakukan konversi pada karya tulis ilmiah bisa menjadi sarana untuk dosen membangun kepakaran. Hal ini penting agar dosen punya fokus utama pada bidang ilmu yang ditekuni.
Kemudian membuka peluang kolaborasi, karena saat peneliti butuh mitra mereka akan mencari pakar di bidangnya. Arti penting lain punya kepakaran bagi dosen, adalah membantu meraih hibah penelitian dan pengabdian.
Disamping itu, kepakaran ini bisa memberi pemasukan tambahan bagi dosen. Misalnya membuka peluang diundang sebagai narasumber, ahli pakar dalam talk show, dan sebagainya. Kemudian, ada kesempatan membuka jasa konsultasi sesuai kepakaran. Sehingga bisa menjadi sumber pemasukan tambahan bagi dosen.
Konversi naskah ilmiah bisa membantu dosen mendapat manfaat finansial atas tulisan-tulisan yang dibuat. Berbeda dengan menulis artikel untuk jurnal, proses publikasi membuat dosen membayar sejumlah biaya dan tidak ada royalti.
Sementara ketika artikel ilmiah tersebut dikonversi menjadi buku dan diterbitkan. Maka berpotensi memberi manfaat finansial lewat royalti. Setiap buku yang terjual akan menambah angka royalti yang diterima dosen. Sehingga buku-buku hasil konversi bisa membantu memberi passive income rutin bagi dosen.
Dosen di Indonesia tentunya memahami kewajiban menulis. Baik itu menulis artikel ilmiah, laporan penelitian, modul pembelajaran, buku ilmiah seperti buku ajar, dan lain sebagainya.
Bahkan, menulis menjadi salah satu kewajiban khusus per tiga tahun untuk dosen dengan jabatan fungsional tertentu. Hal ini sesuai dengan ketentuan di dalam BKD. Menulis sebagai pemenuhan kewajiban khusus bisa ke artikel jurnal dan menerbitkan buku.
Pada saat dosen sudah menjadi Guru Besar, maka ada kewajiban khusus untuk rutin menerbitkan buku. Oleh sebab itu, melakukan konversi naskah ilmiah membantu memenuhi kewajiban khusus tersebut. Sebab selama prosesnya keterampilan menulis dosen berkembang dan kegiatan menulis menjadi lebih mudah.
Memiliki publikasi ilmiah yang banyak dan dalam beragam bentuk. Bisa membantu dosen memperluas jaringan yang dimiliki. Sebab lewat publikasi tersebut, dosen mudah ditemukan dosen lain yang sedang mencari mitra kolaborasi penelitian dan publikasi ilmiah.
Selain itu, dosen tersebut juga mudah ditemukan panitia penyelenggara seminar dan webinar ketika mencari narasumber ahli di suatu bidang dan topik. Sehingga publikasi ilmiah perlu rutin dilakukan oleh dosen.
Sekadar menerbitkan artikel berisi hasil penelitian ke jurnal tentu tidak cukup karena akses pembaca lebih terbatas. Oleh karena itu, perlu ada konversi untuk meningkatkan keragaman publikasi dan menjangkau lebih banyak pembaca. Jaringan yang dimiliki dosen pun berkembang lebih luas sejalan dengan proses tersebut.
Melakukan konversi naskah ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sebagaimana penjelasan sekilas di awal, dosen menghadapi cukup banyak tantangan dalam melakukan konversi tersebut. Diantaranya adalah:
Tantangan yang pertama adalah keterbatasan kemampuan atau skill atau keterampilan dalam menulis. Tidak semua dosen memiliki keterampilan menulis sejak awal meniti karir.
Apalagi, banyak dosen pemula yang baru sadar ada kewajiban menulis setelah terjun di dunia akademik. Oleh sebab itu, proses konversi menjadi hal sulit ketika keterampilan menulis masih terbatas.
Sebelum menjadi dosen, tentunya akan menempuh pendidikan tinggi dari jenjang Sarjana sampai minima Magister. Durasi masa studi tersebut bisa enam tahun bahkan lebih.
Selama masa studi, para dosen terbiasa menyusun karya tulis ilmiah dengan penggunaan kosakata ilmiah. Ketika konversi dilakukan, maka ada kesulitan dalam menyesuaikan gaya bahasa pada naskah buku. Hal ini bisa menjadi tantangan, apalagi jika perbendaharaan kata masih terbatas.
Dosen di Indonesia tentunya memiliki masalah terhadap keterbatasan waktu. Hal ini terjadi karena berhadapan dengan beban kerja tinggi. Terutama dari beban administrasi. Sehingga menyulitkan dosen melakukan manajemen waktu, proses konversi menjadi sulit dilakukan rutin.
Kendala atau tantangan konversi naskah ilmiah berikutnya yang dihadapi para dosen di Indonesia adalah keterbatasan akses teknologi. Gagap terhadap teknologi karena perkembangan yang pesat. Membuat dosen kesulitan dalam beradaptasi.
Misalnya kesulitan menguasai aplikasi pengolah kata, aplikasi manajemen referensi, dan sebagainya. Sehingga proses konversi memakan waktu lebih lama. Apalagi untuk aplikasi tertentu yang sifatnya berbayar, bisa menjadi tantangan tambahan.
Tantangan konversi naskah ilmiah berikutnya adalah dari segi finansial. Menerbitkan buku hasil konversi memang tidak bisa dilakukan dengan rekening kosong. Pasalnya akan ada biaya penerbitan, biaya cetak, dan sebagainya.
Tidak semua dosen memiliki kesiapan finansial menanggung biaya-biaya dalam proses penerbitan tersebut. Apalagi untuk dosen pemula yang menerima gaji masih minim. Maka tantangan dari aspek ini akan berlipat-lipat.
Tantangan berikutnya adalah kurangnya dukungan dari institusi yang menjadi tempat dosen mengabdi. Misalnya, dosen masih belum menguasai skill menulis. Namun, institusi tidak berinisiatif menyelenggarakan workshop kepenulisan. Sehingga skill menulis dosen menjadi stagnan.
Kunci untuk bisa melakukan konversi naskah ilmiah adalah memahami apa saja tahapannya. Tahapan yang diketahui memudahkan proses konversi tersebut sesuai dengan ketersediaan waktu dan sumber daya lain yang dimiliki dosen.
Secara garis besar, proses konversi ini membutuhkan lima tahapan. Berikut tahapan mengubah naskah ilmiah/karya tulis ilmiah menjadi buku:
Tahap pertama dalam proses konversi adalah melakukan penyesuaian struktur. Struktur setiap jenis karya tulis ilmiah berbeda dan satu sama lain punya ciri khas. Misalnya pada artikel jurnal ilmiah, strukturnya adalah Introduction, Methods, Results, dan Discussion (IMRaD).
Struktur ini akan berubah total ketika artikel ilmiah pada jurnal dikonversi menjadi naskah buku. Sebab struktur buku berisi beberapa bab dan terdapat penjelasan lebih mendalam.
Oleh sebab itu, mengubah struktur IMRaD tadi agar sesuai dengan struktur umum naskah buku menjadi tahap pertama. Bagian yang paling mengalami penyesuaian skala besar adalah Results dan Discussion.
Jika penjelasan di dalam dua bagian artikel jurnal ini cukup banyak. Maka dosen bisa memecahnya menjadi beberapa bab. Sehingga bisa memberi penjelasan detail dan mendalam. Sekaligus bisa memenuhi standar jumlah halaman minimal dari buku hasil konversi. Misalnya pada buku ajar yang minimal ada 40 halaman.
Jika penyesuaian struktur sudah dilakukan, maka untuk memudahkan proses berikutnya para dosen bisa mulai menyusun kerangka tulisan atau outline. Kerangka ini bisa berisi daftar bab dan judulnya.
Sehingga pengembangan atau penyesuaian dari IMRaD pada artikel jurnal lebih jelas. Nantinya dipecah sampai berapa bab dan masing-masing bab fokus membahas materi apa.
Menyusun kerangka karangan terkesan membuang waktu. Namun, adanya kerangka ini justru memberi efisiensi dalam proses konversi naskah ilmiah. Apalagi untuk dosen yang memiliki keterbatasan waktu dan beban kerja yang tinggi.
Tahap ketiga, dosen bisa mulai menyusun jadwal menulis dan memiliki komitmen mematuhi jadwal tersebut. Menulis naskah buku diketahui lebih sulit dibanding naskah ilmiah lain. Misalnya artikel pada jurnal ilmiah sampai makalah.
Sebab ada lebih banyak bab perlu disusun pelan-pelan. Sehingga butuh waktu lebih lama dan menguasai skill menulis yang baik. Mencegah naskah terbengkalai, maka menyusun jadwal dan mematuhinya sangat penting. Silahkan menyusun jadwal sesuai kesibukan masing-masing, pastikan bisa rutin menulis meski sebentar.
Tahap berikutnya adalah mengubah judul. Memakai judul karya tulis ilmiah apa adanya pada judul buku bukan keputusan tepat. Judul buku memiliki karakteristik lebih khas dan berbeda dengan judul pada karya tulis ilmiah lain.
Silahkan membandingkan judul-judul artikel ilmiah yang terbit di berbagai jurnal dengan judul buku-buku ilmiah karya para dosen. Maka dijamin akan menemukan perbedaan signifikan.
Judul pada buku cenderung lebih singkat, ada unsur estetika yang menjadi upaya menarik minat pembaca, dan mengandung beberapa kosakata yang khas. Sering disebut dengan istilah power word. Misalnya:
Jadi, mengubah judul menjadi salah satu tahapan dalam konversi naskah ilmiah. Silahkan membaca berbagai judul buku hasil konversi untuk mendapat inspirasi. Sebab memang butuh lebih banyak masukan untuk mendorong kreativitas dalam mengubah judul artikel ilmiah menjadi judul buku yang menarik.
Tahap akhir dari proses konversi adalah penyuntingan dan editing mandiri. Secara sederhana, dosen di tahap ini perlu membaca ulang dan mengoreksi berbagai kesalahan yang ditemukan.
Kemudian disusul dengan merapikan naskah tersebut untuk kemudian dikirimkan ke penerbit. Penyuntingan dan editing mandiri mengatasi kesalahan minor dan kesalahan teknis sederhana. Sehingga peluang naskah diterima penerbit lebih besar.
Bagi para dosen yang tidak memungkinkan melakukan lima tahapan konversi naskah ilmiah tersebut, silakan memanfaat Layanan Konversi KTI di Penerbit Deepublish. Penerbit Deepublish telah berhasil mengubah KTI menjadi naskah buku sebanyak 1400+ judul. Para dosen memanfaatkan buku hasil konversi untuk pelaporan BKD.
Yuk, daftarkan diri Anda melalui tautan Layanan Konversi KTI dan terbitkan buku Anda hanya dengan mengonversi karya ilmiah sekarang juga!
Menggunakan matriks Eisenhower untuk membantu memanajemen waktu, menetapkan prioritas pekerjaan, dan mencegah penumpukan pekerjaan. Menjadi…
Pernahkah Anda mendengar istilah sampling jenuh atau sampel jenuh? Istilah ini tentu cukup familiar bagi…
Memperpendek kalimat mungkin menjadi satu topik dalam dunia kepenulisan yang jarang dibahas. Namun, harus dipahami…
BAN-PT baru saja mengatakan pengalihan akreditasi ke LAMSPAK dan implementasi SAPTO 2.0. Pengumuman ini tentunya…
Sebelum melakukan pengumpulan data penelitian, peneliti perlu memilih sampel penelitian. Salah satu teknik dalam menentukan…
Salah satu teknik dalam menentukan sampel penelitian adalah proportional random sampling. Teknik ini menjadi salah…