Daftar Isi
Bagi Anda mahasiswa di program studi hukum dan sedang melaksanakan penelitian, maka perlu memahami perbedaan penelitian normatif dan empiris. Sebab dua metode penelitian ini yang secara umum digunakan untuk penelitian di bidang hukum.
Penelitian tidak hanya bersifat eksakta, akan tetapi juga mencakup di bidang humaniora, termasuk hukum. Penelitian di bidang hukum harapannya bisa menciptakan norma maupun undang-undang baru yang lebih baik. Sehingga mendukung terjadinya keadilan.
Dalam prakteknya, penelitian tersebut akan menggunakan salah satu dari dua metode, Yaitu penelitian normatif atau penelitian empiris. Maka sangat penting untuk memahami dulu perbedaan mendasar dari keduanya.
Apa Itu Penelitian Normatif?
Dikutip melalui laman hukumonline.com, dijelaskan bahwa penelitian normatif adalah metode penelitian di bidang hukum yang didasarkan pada norma atau peraturan perundang-undangan.
Secara sederhana, penelitian normatif akan dilakukan dengan menggunakan undang-undang dan dasar hukum sah lain sebagai sumber. Namun, penelitian normatif tidak selalu bertujuan untuk mengkaji maupun memperbaharui norma yang sudah ada.
Ada kalanya penelitian jenis ini bertujuan untuk menciptakan penyusunan norma baru. Sehingga hasilnya bisa berupa undang-undang baru yang menyempurnakan undang-undang sebelumnya maupun melakukan koreksi pada kekurangan (kelemahan).
Prosesnya memang bisa sangat panjang, sebab untuk mengesahkan undang-undang baru memang bisa berbulan-bulan bahkan tahunan. Sehingga penelitian ini tidak selalu menghasilkan luaran dalam bentuk undang-undang, melainkan rancangan undang-undang.
Jika penelitian normatif ditujukan untuk menganalisis suatu aturan hukum (undang-undang) yang sesuai sebagai solusi atas suatu fenomena (permasalahan). Maka sumber penelitiannya adalah dari undang-undang yang berlaku untuk kemudian dicari yang paling sesuai untuk diterapkan atau digunakan.
Apa Itu Penelitian Empiris?
Memahami perbedaan penelitian normatif dan empiris tentu juga harus memperhatikan definisi penelitian empiris. Penelitian empiris adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti persoalan yang bersumber pada perilaku (behaviour).
Bisa juga disebut memiliki atau memakai acuan dari kecenderungan perilaku (behaviour trend) sehingga berkaitan dengan situasi empiris seperti waktu, frekuensi hingga lokasi. Sehingga perbedaannya dengan penelitian normatif ada pada sumber data.
Penelitian empiris lebih fokus pada peningkatan pemahaman mengenai suatu fenomena. Kemudian mencari tahu detail fenomena tersebut mulai dari penyebab, dampak, dan bagaimana solusi hukum yang tepat untuk mengatasi atau meredam dampak negatifnya.
Jadi, hasil yang didapatkan adalah berupa solusi atas fenomena yang muncul dari adanya perilaku khas dari seorang individu maupun kelompok masyarakat dan pemahaman lebih pada fenomena tersebut.
Penelitian empiris juga diketahui tidak hanya bisa diterapkan untuk bidang hukum, melainkan bidang lainnya. Sebab bisa digunakan untuk meneliti fenomena apapun dengan tujuan memahami fenomena tersebut dengan baik. Sehingga menghasilkan teori baru atau mungkin teknologi baru berkaitan dengan fenomena yang diteliti tersebut.
Perbedaan Penelitian Normatif dan Empiris
Lalu, apa saja yang menjadi perbedaan penelitian normatif dan empiris tersebut? Dikutip dari berbagai sumber, setidaknya ada empat hal utama yang membedakan antara kedua jenis penelitian ini. Berikut penjelasannya:
1. Metode Penelitian yang Digunakan
Perbedaan yang pertama terletak pada metode penelitian yang digunakan. Metode pada penelitian normatif bersifat teoritis, seperti penjelasan sebelumnya pada bidang hukum mengacu pada norma (perundangan) yang sudah dan masih berlaku.
Sehingga secara sederhana, penelitian ini memiliki sifat teoritis dimana acuan dasarnya adalah hal yang bersifat teori. Teori tersebut akan dicari, dipelajari, dan disaring agar sesuai dengan topik penelitian yang dipilih.
Sementara pada penelitian empiris, metode penelitiannya adalah pada proses pengumpulan data di lapangan. Sehingga sifatnya menuntut peneliti untuk terjun langsung ke lapangan (lokasi penelitian) dan melakukan pengamatan.
Hal ini sejalan dengan penjelasan pada definisi sebelumnya, dimana acuan empiris adalah pada kebiasaan atau perilaku. Sehingga peneliti wajib terjun ke lapangan langsung untuk melakukan pengamatan pada perilaku subjek dan objek penelitian.
Pada proses pengamatan di lapangan langsung tersebut, peneliti bisa mengumpulkan data dengan berbagai cara. Mulai dari survei, eksperimen, pengamatan langsung, sampai dilakukannya wawancara.
2. Tujuan Penelitian
Perbedaan penelitian normatif dan empiris selanjutnya adalah pada tujuan penelitian. Setiap penelitian tentu memiliki tujuan, dan biasanya akan berbeda satu sama lain. Perbedaan tujuan akan membedakan pula metode yang digunakan.
Pada penelitian normatif, tujuan umumnya adalah menetapkan norma atau aturan atau perundang-undangan yang berkaitan dengan topik. Secara sederhana, hasil penelitian berbentuk aturan baru yang mengatasi dampak negatif dari fenomena yang diteliti.
Sementara untuk penelitian empiris, tujuannya secara umum adalah membantu memahami suatu fenomena. Sehingga hasilnya adalah suatu teori yang menjelaskan fenomena tersebut, sekaligus mendukung terbentuknya aturan atau norma baru yang lebih sesuai.
Pada penelitian di luar bidang hukum, penelitian empiris akan lebih banyak dilakukan di lapangan langsung dan mendapatkan banyak data. Sehingga membantu memahami fenomena yang diteliti secara mendalam dan tidak harus berkaitan dengan hukum.
3. Dasar Acuan Penelitian
Aspek ketiga yang menjadi perbedaan penelitian normatif dan empiris adalah dasar acuannya. Hal ini sesuai dengan definisi masing-masing jenis penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Acuan di dalam penelitian normatif adalah norma atau undang-undang dan aturan yang sudah berlaku di masyarakat dan disahkan pemerintah. Sehingga norma ini akan dikaji dan dicari efeknya pada penerapan untuk suatu fenomena.
Ketika penerapannya tidak berjalan baik atau justru memunculkan dampak negatif baru. Maka penelitian ini akan mendorong peneliti menghasilkan norma baru yang lebih sesuai.
Sementara acuan untuk penelitian empiris adalah pada perilaku, sesuai definisinya. Jadi, disini adalah mengacu pada perilaku yang terjadi di masyarakat dan dicari penyebab serta solusi jika memberikan dampak negatif.
4. Dampak dari Hasil Penelitian
Perbedaan yang keempat antara penelitian normatif dan empiris adalah dari dampak hasil penelitiannya. Dua jenis penelitian ini menghasilkan luaran yang berbeda, pada penelitian normatif menghasilkan norma atau aturan.
Sementara pada penelitian empiris menghasilkan pemahaman terhadap fenomena atau topik penelitian dan pada bidang hukum bisa dijadikan landasan penyusunan kebijakan (aturan dan norma) baru.
Jadi, secara umum penelitian normatif memberikan hasil yang berdampak pada penetapan aturan baru untuk mengatasi dampak negatif dari suatu fenomena. Sehingga mengantisipasi ada masalah atau kerugian.
Sementara dampak dari hasil penelitian empiris adalah pada teori yang menjelaskan suatu fenomena. Teori ini pada bidang hukum bisa menjadi landasan penetapan kebijakan baru. Pada bidang non hukum bisa menjadi teori yang mengembangkan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Kelebihan dan Kekurangan Penelitian Normatif dan Empiris
Sebagaimana metode penelitian lainnya, pada penelitian normatif maupun empiris juga bisa ditemukan kelebihan dan kekurangan. Hal ini juga yang menjadi salah satu aspek yang menunjukan perbedaan penelitian normatif dan empiris itu sendiri.
Dilihat dari sisi kelebihan, pada penelitian normatif mampu memberikan pedoman keputusan sehingga dihasilkan norma (aturan) yang lebih sesuai. Biasanya norma ini bersifat baru dan menggantikan norma sebelumnya yang dipandang kurang sempurna, kurang relevan, dan sebagainya.
Sementara kelebihan pada penelitian empiris adalah pada dukungan untuk memahami suatu teori dan fenomena. Sehingga bisa memberikan ilmu dan wawasan baru bagi peneliti maupun masyarakat luas ketika hasil penelitian dipublikasikan.
Sebaliknya, jika dilihat dari sisi kekurangan, baik penelitian normatif maupun empiris juga memiliki kekurangan atau kelemahan masing-masing. Pada penelitian normatif, kelemahan terletak pada sumber data yang tidak empiris.
Sebab sumber data sesuai penjelasan sebelumnya adalah dari norma yang berlaku. Namun, peneliti tidak melakukan kunjungan langsung ke lapangan dan melihat dampak dari norma yang berlaku tersebut seperti apa. Sehingga data bersifat teoritis bukan empiris (praktek).
Sebaliknya, penelitian empiris juga memiliki kekurangan, salah satunya dari aspek kebutuhan sumber daya. Penelitian jenis ini diketahui membutuhkan sumber daya dalam skala besar, begitu pula dengan waktu.
Sehingga seringkali penelitian berjalan dalam jangka sangat panjang. Efeknya juga akan mengembangkan biaya penelitian, sehingga cenderung menelan biaya lebih tinggi dibanding penelitian normatif. Meskipun tidak semua penelitian empiris menjadi lebih mahal.
Kapan Penelitian Normatif dan Empiris Perlu Dilakukan?
Membahas mengenai perbedaan penelitian normatif dan empiris juga akan membahas mengenai kapan metode penelitian ini digunakan. Dilihat pada bidang ilmu hukum, ada 3 kondisi dimana penelitian ini diterapkan oleh seorang peneliti. Berikut penjelasannya:
1. Adanya Kekosongan Hukum
Hal pertama yang membuat penelitian normatif maupun empiris perlu dilakukan adalah ketika terjadi kekosongan hukum. Artinya, ada sebuah perilaku atau fenomena yang belum ada norma (aturan) atau hukum positif yang mengaturnya.
Sehingga ada urgensi untuk segera menyusun norma baru yang mengatur fenomena baru tersebut. Misalnya saja ketika internet berkembang, mendorong terjadinya transaksi belanja online.
Perilaku ini tentu terbilang baru karena sebelum ada internet, transaksi hanya bisa dilakukan dengan tatap muka. Maka oleh pemerintah dirumuskan UU ITE yang mengatur fenomena tersebut untuk melindungi berbagai pihak dari tindak kejahatan.
2. Norma Tidak Jelas
Kondisi kedua yang mendorong dilakukannya penelitian di bidang hukum, baik dengan penelitian normatif maupun empiris, adalah adanya norma yang tidak jelas. Artinya, ada suatu aturan (undang-undang) yang maknanya tidak jelas.
Kondisi ini akan membuat beberapa pihak memiliki tafsir tersendiri, multitafsir, sehingga mendorong terjadinya pertentangan atau masalah. Maka hal ini mendorong dilakukan penelitian untuk mengganti norma yang lebih jelas maknanya.
3. Terjadi Pertentangan Norma
Kondisi ketiga adalah ketika terjadi pertentangan norma. Artinya, terjadi pertentangan antara dua norma atau lebih yang sama-sama sudah berlaku secara sah di masyarakat.
Pertentangan ini nantinya akan menimbulkan perilaku yang berbeda dan bisa saja saling bertentangan. Kondisi seperti ini jika dibiarkan maka akan memunculkan masalah hukum dan bahkan kekacauan hukum.
Sehingga perlu dilakukan penelitian untuk memahami dan mengatasi fenomena tersebut. Kemudian dilakukan penetapan kebijakan untuk merilis norma baru atau memutus masa berlaku salah satu norma yang diketahui menjadi sumber masalah hukum.
Itulah penjelasan rinci mengenai beberapa perbedaan penelitian normatif dan empiris, sehingga bisa membantu menentukan metode mana yang tepat untuk digunakan. Semakin tepat metodenya maka semakin mendukung kemudahan pelaksanaan penelitian dan perumusan hasilnya.
Jika memiliki pertanyaan atau ingin sharing pengalaman mengenai topik dalam artikel ini, jangan ragu menuliskannya di kolom komentar. Klik juga tombol Share untuk membagikan artikel ini ke orang terdekat Anda. Semoga bermanfaat.