Perkembangan penerbit buku di Indonesia memang lebih baik dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, perkembangan penerbitan di Indonesia masih tertinggal. Meskipun demikian, penerbitan di Indonesia memiliki harapan dan kualitas lebih baik.
Produksi buku, selama setahun mampu mencetak 30 ribu judul buku, dengan jumlah penduduk di Indonesia secara keseluruhan 240.000.000 jiwa. Di Malaysia, jumlah penduduknya lebih sedikit dari Indonesia, mampu mencetak buku pertahun di angka yang hampir sama. Sedangkan di negara maju seperti di Eropa, Amerika dan di Jepang penerbit buku mampu mencetak buku jauh lebih banyak.
Minat Baca Rendah, Ancaman Penerbit Buku?
Dibandingkan dengan negara supernova, tingkat minat baca di Indonesia tergolong lemah. Kebiasaan seperti ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Di negara maju, kebiasaan mereka di waktu luang adalah membaca, membaca koran online, surat kabar, ataupun buku.
Indonesia pun sebenarnya juga memiliki kegemaran membaca. Hanya saja konten yang dibaca bukanlan surat kabar, buku, atau koran online, melainkan membaca status di media sosial. Meskipun demikian, tetap masih ada yang memiliki minat membaca, hanya saja persentasenya lebih sedikit.
Perbedaan budaya mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya. Salah satu dampaknya adalah minat baca masyarakat pada bacaan yang informatif justru tidak banyak dilirik. Tahun 2010, Biro Pusat Statistik mencatat bahwa 96, 07% warga Indonesia usia lebih dari 15 tahun bisa membaca.
Namun, kemampuan melek huruf tidak menjamin banyaknya minat baca. UNESCO merilis data bahwa tahun 2012 minat baca di Indonesia hanya 0,001. Pernyataan yang dicatat oleh UNESCO minat baca di Indonesia hanya 1:1000 penduduk.
Meski ada data seperti itu, Indonesia tetap memiliki banyak penerbit buku maupun penerbit indie yang terus bertahan. Ada yang sampai detik 2017 bertahan dan eksis, namun banyak juga penerbit buku dan toko buku satu persatu gulung tikar. Penjualan buku di Indonesia dalam satu tahun mampu menjual sebanyak 33.000.000 eksemplar buku, atau kasarnya, hanya satu pembeli buku dari 7 orang.
Sedikitnya daya minat membaca menganggu daya beli buku. Secara tidak langsung juga mengancam penerbit buku. Kekhawatiran tersebut nyatanya tidak membuat para penerbit menyerah begitu saja. Banyak dari penerbit buku di Indonesia, baik itu penerbit minor, mayor, indie tetap memiliki pasaran dan melahirkan para penulis buku yang andal.
Eksistensi Penerbit Buku
Penerbit Buku di tahun 2015 mendapatkan tamu kehormatan dalam ajang Pekan Buku Frankfurt (PBF), yaitu ajang pameran buku kelas internasional. Di acara ini, penerbit buku asing tertarik untuk menerjemahkan buku dari Indonesia ke dalam bahasa asing. Setidaknya, ada 400 judul buku yang diminati untuk dipertimbangkan.
Dari semua buku tersebut meliputi beberapa jenis buku, mulai dari buku anak-anak, karya sastra, buku ajar, agama, sosial politik, komik, buku wisata, kuliner hingga buku biografi, dan arsitektur.
Secara tidak langsung, penghargaan tersebut memberikan gambaran bahwa dunia perbukuan hingga detik ini masih berpeluang. Peluang kerjasama dengan pihak luar setidaknya mampu mempertahankan dunia perbukuan yang pernah diramalkan lesu lantaran perkembangan teknologi.
Ajang pameran PBF 2015 salah satu cara penerbit buku memasuki pasar internasional. Dengan adanya buku yang diterjemah ulang, harapannya berdampak pada jangkauan pembaca. Dari pihak penerbit buku yang menerbitkan juga memperoleh keuntungan berupa kepercayaan dan kerjasama dari pihak penerbit luar.
Siapa yang menyangka jika PBF yang awalnya hanya diikuti sebagai konsumen membeli hak terjemahan. Sejak PBF 2015 yang lalu berbalik sebagai ajang penjualan hak cipta kepada penerbit luar.
Berawal dari PBF tersebut, di tahun 2016 pameran lebih difokuskan. Terlihat dalam pameran “Pekan Buku Anak Bologna dan Pekan Buku London” tahun 2016, Komite Buku Nasional turut hadir.
Minat penerbit asing terhadap karya Indonesia ditandai dalam ajang pameran tersebut. Pekan Buku Anak Bologna dan Pekan Buku London mencatat ada lebih dari 49 pertemuan antara penerbit dan agen buku asing. Baik itu berupa pembelian hak terjemahan, kerjasama menerjemahkan.
Hal ini mematahkan anggapan bahwa penerbit buku sulit mengepakkan sayap hanyalah sebuah kabar burung. Meskipun kenyataannya memang persaingan teknologi menekan tingkat minat baca terhadap buku textbook, bukan berarti harapan dan peluang itu hilang. Banyak cara dan upaya agar dunia penerbitan tetap berjalan lancar dan tetap eksis. Salah satunya menjalin mitra dengan penerbit luar.
Upaya meningkatkan daya saing penerbit nasional. Maka, Komite Buku Nasional menginisatori dan bersinergi dengan beberapa pihak. Mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud), IKAPI.
Mereka menjalin kerjasama dengan Goethe Institute Jakarta dan Frankfurt Buch Messe. Kerjasama ini sebagai salah satu upaya program residensi penulis, pameran buku dan festival sastra bagi para penikmatnya.
Memperkuat Relasi Penerbitan
Studi banding seringkali dijadikan sebagai salah satu cara pertukaran informasi. Begitupun di dunia penerbitan. Selama empat hari, mengadakan pelatihan yang dikhususkan untuk penerbit buku. Peserta yang ikuti untuk umum, kurang lebih didatangi lebih dari 60 orang.
Peserta yang datang selain dari Indonesia, juga dihadiri oleh beberapa negara tetangga, seperti Malaysia, Brunai, Papua Nuginie dan Singapure. Materi yang disampaikan dari para pakar berpengalaman dari Jerman, sebagai salah satu negara maju, dan masyarakat Jerman.
Pelatihan tersebut membedah permasalahan yang terjadi di dunia penerbitan. Mulai dari strategi promosi, menyasar pasar kelas Internasional, bagaimana memanfaatkan peluang penerbitan internasional dan mengulas bagaimana mendapatkan rights book. Sekaligus mempersiapkan untuk persaingan tantangan global di dunia penerbitan buku. Tujuan lain, untuk memperkuat relasi.
Pelatihan yang diikuti oleh beberapa pembicara ternama seperti Andrea Luck, sebagai direktur Marketing dari Penerbit Harper Colling Jerman dan Jan Karsten, salah seorang CEO dari penerbit CulturBooks, dari Hamburg. Ajang pelatihan ini juga mengupas tantangan yang menjadi persaingan penerbit buku, yaitu dunia digital. Menjadikan dunia digital sebagai media dan bagaimana memanfaatkan potensi penerbitan buku secara digital, upaya mengimbangi pembaca yang tidak suka dengan teksbook.
Dari beberapa poin di atas dapat disimpulkan bahwa dunia penerbit buku di Indonesia masih memiliki semangat, peluang dan memiliki harapan. Bagaimanapun juga, tanpa hadirnya sebuah penerbit, keberadaan para penulis di Indonesia sulit terkofer. Mengingat, di Indonesia memiliki banyak penulis yang lahir.
Banyak penulis muda lahir. Banyak pula orang yang memiliki keinginan menulis. Sayangnya, hanya sedikit penulis yang mampu bertahan, dan berjuang melawan persaingan yang terjadi. Bagi penerbit buku, hanya penulis yang aktiflah yang bisa tetap survive bertahan. Penerbit sebagai media dan wadah untuk memaksimalkan apa oleh para penulis. Dengan kata lain, penerbit buku sebagai fasilitator yang selalu bersinergi satu sama lain. Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat.
[Elisa]
Apakah Anda sedang atau ingin menulis buku? Dengan menjadi penulis penerbit buku Deepublish, buku Anda kami terbitkan secara gratis. Anda cukup mengganti biaya cetak. Silakan isi data diri Anda di sini.
Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang teknik menulis anda dapat melihat Artikel-artikel berikut:
- Cara Membuat Buku: Membangun Kebiasaan Menulis Naskah Ramah Penerbit Buku
- Inilah Ciri-Ciri Buku Ajar yang Perlu Anda Tahu
- Penerbit Buku dan Teknik Menulis Buku Secara Indie
- Mari Ketahui 4 Elemen Mengukur Buku Ajar Berkualitas
Jika Anda mempunyai BANYAK IDE, BANYAK TULISAN, tapi BINGUNG bagaimana caranya MEMBUAT BUKU, gunakan fasilitas KONSULTASI MENULIS dengan TIM PROFESSIONAL kami secara GRATIS di sini!
Jika Anda menginginkan EBOOK GRATIS tentang CARA PRAKTIS MENULIS BUKU, silakan download.