Daftar Isi
Penggandaan buku ternyata masih dipahami masyarakat luas sebagai tindakan biasa dan lumrah dilakukan. Padahal jika ditelusuri secara mendalam, tindakan ini sudah masuk tindakan pelanggaran Hak Cipta.
Dimana buku termasuk jenis karya yang dilindungi Undang-Undang oleh pemerintah. Menggandakan sebuah buku seperti melakukan fotokopi tanpa izin dari penulisnya sudah tentu termasuk pelanggaran Hak Cipta. Kira-kira, kenapa hal ini masih marak terjadi?
Penggandaan buku merupakan tindakan yang banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia atau bahkan di dunia. Aksi penggandaan ini lebih jamak terjadi di lingkungan akademik, baik tingkat sekolah maupun perguruan tinggi.
Secara umum, penggandaan adalah memperbanyak jumlah suatu barang. Jadi, penggandaan terhadap buku artinya memperbanyak jumlah buku tersebut untuk berbagai tujuan.
Penggandaan karya tulis berbentuk buku, baik ilmiah maupun non ilmiah memang sering terjadi. Siapa sangka, aksi tersebut sudah termasuk pelanggaran Hak Cipta disebutkan di dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 jika menggandakan karya adalah hal terlarang.
Apalagi jika menggandakan buku ini dilakukan tanpa izin dari pemilik Hak Cipta, baik yang dipegang penulis maupun penerbit buku tersebut. Oleh sebab itu, tindakan ini perlu dipahami sebagai sebuah tindak kejahatan berujung tuntutan pidana.
Sehingga penggandaan buku sepatutnya tidak lagi dilakukan, khususnya oleh dosen dan mahasiswa. Lalu, seperti apa aksi penggandaan yang dimaksudkan disini? Menggandakan sebuah karya berbentuk buku bisa sebagian bisa seluruh isinya.
Salah satu cara konvensional penggandaan buku yang banyak dilakukan masyarakat adalah fotokopi buku, baik dengan tujuan dikomersilkan dengan cara dijual agar mendapat keuntungan atau untuk dibaca sendiri tanpa memberi manfaat kepada penulisnya.
Bandingkan jika pembaca membeli buku aslinya di toko buku, maka penulis buku tersebut mendapat manfaat ekonomi atas karyanya. Dimana manfaat ekonomi ini adalah hak yang didapat dari kerja kerasnya menulis dan menerbitkan karya.
Baca Juga: Kerugian Tidak Mendaftarkan Hak Cipta Buku, Karya Bisa Diplagiat?
Ketika kita memilih menggandakan sebuah buku maka sama artinya sudah merampas hak penulisnya. Lalu, apakah sama antara penggandaan buku dengan pembajakan buku? Sejauh ini, menggandakan buku umumnya untuk sebagian isi buku.
Sementara pembajakan mengarah ke memperbanyak buku dan mengambil isi buku aslinya secara keseluruhan. Buku bajakan ini kemudian dijual untuk mendapat keuntungan ekonomi, padahal pihak penulisnya tidak menerima sepeserpun dari hasil penjualannya.
Perbedaan lainnya adalah dari pihak yang melakukan aksi pelanggaran Hak Cipta tersebut. Pada penggandaan buku, pelaku umumnya perorangan seperti beberapa mahasiswa di perguruan tinggi yang tidak memiliki motif ekonomi.
Sementara pembajakan dilakukan tidak hanya perorangan, bisa badan hukum seperti perusahaan yang sengaja menggandakan jumlah buku dan dijual tanpa izin penulis maupun penerbit aslinya. Sehingga ada motif ekonomi yang mendasarinya.
Penggandaan buku sampai detik ini memang memiliki angka kejadian yang tinggi. Khususnya di lingkungan akademik baik sekolah maupun perguruan tinggi. Penggandaan buku terjadi karena dipicu banyak faktor, seperti:
Faktor pertama yang membuat lingkungan akademik menjadi lahan subur dilakukannya tindakan penggandaan aneka jenis buku adalah literatur yang masih susah untuk didapatkan.
Seperti yang diketahui, kalangan akademisi seperti dosen dan mahasiswa memiliki kebutuhan tinggi dengan literatur ilmiah. Baik dalam bentuk buku maupun jurnal dan sumber literatur lainnya.
Beberapa diantaranya susah didapatkan sehingga banyak yang mengambil jalan pintas memfotokopi literatur tersebut. Adapun penyebab literatur tertentu susah didapatkan dipicu beberapa alasan.
Mulai dari literatur dari luar negeri sehingga susah didapatkan di Indonesia, literatur sudah tidak dicetak lagi oleh penerbit, dan alasan lainnya. Sehingga literatur yang sangat dibutuhkan ini didapatkan melalui tindakan melanggar Hak Cipta tadi.
Baca Juga:
Faktor kedua yang memicu aksi penggandaan buku masih jamak dilakukan khususnya di lingkungan akademik, adalah harga buku yang tinggi. Kebanyakan buku pendidikan atau ilmiah memang memiliki harga tidak murah.
Apalagi untuk bidang ilmu kesehatan khususnya buku-buku untuk prodi kedokteran, keperawatan, dan sejenisnya. Harga yang kelewat tinggi kadang tidak sejalan dengan anggaran yang mampu disediakan.
Pada akhirnya kondisi ini yang membuat dosen maupun mahasiswa melakukan penggandaan pada sejumlah literatur, termasuk buku. Tanpa sadar aksi fotokopi ini sudah melanggar Hak Cipta dan merugikan penulisnya.
Faktor ketiga yang memicu jamaknya aksi penggandaan buku adalah kemudahan dari lingkungan sekitar. Contohnya, banyaknya jasa fotokopi yang membuka jasa di sekitaran kampus.
Hal ini memudahkan akses dosen dan mahasiswa melakukan penggandaan terhadap buku-buku yang mereka butuhkan. Bahkan menormalisasi aksi pelanggaran Hak Cipta tersebut, apalagi dilakukan nyaris seluruh penghuni kampus.
Tindakan penggandaan buku yang termasuk dalam tindak pelanggaran Hak Cipta tentu memiliki konsekuensi bagi pelakunya. Hal ini diatur di dalam UU Nomor 28 Tahun 2014, dimana di pasal 9 ayat 1 disebutkan jika penggandaan ciptaan hanya bisa dilakukan pemilik Hak Cipta.
Pada buku kebanyakan Hak Cipta dimiliki penulis buku tersebut, dan beberapa lagi dipegang oleh penerbit sesuai kesepakatan dengan penulis. Bagaimana jika melanggar? Maka akan menanggung konsekuensi dalam bentuk tuntutan pidana.
Pelaku bisa terkena hukuman kurungan yang ditetapkan di dalam pasal 113, sekaligus bisa dalam bentuk denda. Sanksi penggandaan terhadap buku disebut melanggar pasal 9 ayat 1 poin b. Sehingga dikenakan sanksi sebagai berikut:
“Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Terkait penggandaan buku, juga diatur ketika dilakukan untuk kepentingan pribadi. Contohnya seperti aksi fotokopi buku oleh kalangan dosen maupun mahasiswa tanpa izin dari penulisnya.
Penggandaan untuk karya berbentuk buku, baik untuk sebagian atau seluruhnya tidak diperbolehkan. Hal ini tertuang di dalam pasal 46 dari UU Nomor 28 Tahun 2014. Adapun bunyi pasal 46 adalah:
Pada ayat 2 poin b disebutkan bahwa buku baik sebagian atau seluruh isinya tidak diperbolehkan untuk digandakan tanpa izin dari penulis (pemilik Hak Cipta). Sehingga untuk kepentingan pribadi pun tidak diperbolehkan sebagaimana bunyi UU di atas.
Meskipun begitu, dijelaskan pula bahwa tidak semua tindakan menggandakan buku termasuk dalam pelanggaran Hak Cipta. Hal ini dijelaskan di dalam pasal 44 ayat 1-3. Berikut bunyinya:
Baca Juga: Supaya Tidak Diplagiat, Inilah Cara Membuat Hak Cipta Buku
Mencegah tindakan plagiarisme, penggandaan, dan pelanggaran Hak Cipta lain dalam karya jenis buku. Tidak hanya perlu dilakukan edukasi mengenai apa pelanggaran tersebut dan konsekuensi hukum yang bisa diterima pelaku.
Pemilik karya juga dituntut untuk paham bagaimana melindungi karyanya dari berbagai tindakan pelanggaran Hak Cipta, yakni dengan mendaftarkan Hak Cipta atas karya buku yang mereka susun dan terbitkan.
Langkah ini bersifat mutlak, sebab tanpa didaftarkan dimana tidak diumumkan karya tersebut milik siapa. Maka tidak ada kekuatan hukum yang bisa melindungi karya tersebut dari penggandaan, pembajakan, dan pelanggaran Hak Cipta bentuk lainnya.
Maka para penulis jangan sampai malas dan mengabaikan pentingnya mendaftarkan Hak Cipta atas buku mereka. Ikuti prosedur dan persyaratan yang ditetapkan pemerintah melalui Kemenkumham sehingga penulis mendapat sertifikat Hak Cipta.
Di masa mendatang ketika ada penggandaan buku dan pelanggaran Hak Cipta lain atas karyanya, maka penulis bisa mengajukan tuntutan sesuai prosedur yang berlaku. Sehingga mendapatkan ganti rugi dan mencegah aksi serupa dilakukan pihak lain.
Setelah Hak Cipta didapatkan, silakan mengurusnya di berbagai platform seperti marketplace dan media sosial (Youtube), sehingga saat ada yang menjual buku bajakan bisa segera ditindak, begitu juga saat dibajak di Youtube maupun media sosial lain.
Telah menerbitkan buku tapi buku Anda belum memiliki Hak Cipta? Hati-hati! Buku Anda dapat diplagiasi, dibajak, hingga digandakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Hal tersebut tentu akan merugikan Anda baik dari segi materil maupun non materil.
Bagaimana solusinya? Urus segera Hak Cipta Buku Anda melalui Penerbit Deepublish agar lebih mudah! Daftar melalui Jasa Pengurusan Hak Cipta Buku dan Anda tinggal duduk manis menunggu sertifikat hak cipta!
Baca Juga:
Hak Cipta Buku: Definisi, Jenis Buku yang Dapat Dilindungi
Contoh Hak Cipta dan Masa Berlakunya
10+ Istilah dalam Hak Cipta yang Perlu Diketahui Penulis Buku
Pelanggaran Hak Cipta, Contoh, dan Konsekuensi bagi Pelanggar
Referensi:
Pembajakan Buku Berpotensi Membunuh Energi Kreatif
Pada saat menerbitkan buku, penerbit yang dipilih sering menambahkan halaman prancis atau half title dalam…
Menggunakan tools pendeteksi AI tentu menjadi langkah tepat bagi guru dan dosen. Tools ini bisa…
Proses menulis biasanya diawali dengan menulis draft dan disebut sebagai draft pertama. Penulisan draft menjadi…
Salah satu tahapan penting dalam proses menulis adalah swasunting atau self editing. Melakukan swasunting membantu…
Menggunakan AI untuk parafrase memang menjadi pilihan banyak akademisi saat ini, baik itu dosen maupun…
Menggunakan AI untuk membuat mind mapping atau peta konsep, tentunya menjadi alternatif yang banyak dipilih.…