Promo Terbatas! ⚠️

Cetak buku diskon 35%, bonus tambahan eksemplar dan gratis ongkir se-Indonesia, MAU? Ambil diskon di sini!

Kasus Self Plagiarisme, Ini Alasan Kenapa Wajib Dihindari

kasus plagiarisme

Pernahkah membaca detail mengenai berita yang membahas kasus self plagiarisme? Bagi beberapa orang, plagiarisme jenis ini masih asing di telinga dan bahkan terbilang kontroversial karena self plagiarisme tidak menjadi bagian dari definisi plagiarisme itu sendiri. 

Hal ini yang membuat beberapa orang menganggap self plagiarisme bukan plagiarisme atau jadi satu hal berbeda. Namun, ada juga yang menilai jika self plagiarisme ini adalah termasuk dalam plagiarisme juga. 

Secara aturan, self plagiarisme diketahui menjadi salah satu bentuk pelanggaran kode etik penulisan karya ilmiah sehingga pelakunya akan dikenakan sanksi sebagaimana pelaku plagiarisme pada umumnya. 

Plagiarisme dan Self Plagiarisme, Apakah Beda?

Sebelum membahas secara spesifik mengenai kasus self plagiarisme, maka dibahas dulu mengenai definisi dan perbedaan maupun persamaannya dengan plagairisme. Definisi plagiarisme menurut Peraturan  Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 17 Tahun 2010 yaitu: 

Plagiarisme adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh kredit atau nilai suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa mencantumkan sumber secara tepat dan memadai.

Menurut Peraturan Menteri tersebut, bentuk-bentuk tindakan yang termasuk plagiarisme diantaranya: 

  1. Mengutip istilah, kata, kalimat, data, dan informasi dari suatu sumber tanpa menyebut sumber dalam catatan atau tidak menyatakan sumber yang memadai.
  2. Mengutip secara acak istilah, kata, kalimat, data, dan informasi dari suatu sumber tanpa menyebut sumber dalam catatan atau tidak menyatakan sumber yang memadai.
  3. Menggunakan gagasan, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber.
  4. Memparafrase dari sumber kata dan kalimat, gagasan, pendapat, atau teori tanpa menyatakan sumber.
  5. Menyerahkan karya ilmiah yang dihasilkan atau dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiah sendiri tanpa menyatakan sumber yang memadai.

Sementara itu, self plagiarisme adalah tindakan plagiasi dengan cara mengambil karya milik sendiri tanpa merujuk karya aslinya (tindakan menjiplak karya sendiri). Jadi, definisi ini tidak lagi sesuai dengan definisi plagiarisme pada Peraturan Menteri yang dijelaskan di atas. Hal ini yang memicu kontroversi terkait self plagiarisme. 

Pahami selengkapnya melalui Self Plagiarisme, Jenis dan Tips Menghindarinya

Meskipun begitu, tindakan self plagiarisme sekalipun hanya menjiplak karya sendiri dan bukan karya orang lain tetap dianggap sebagai bentuk pelanggaran kode etik penulisan karya ilmiah. Tindakan ini sama tercelanya dengan plagiarisme. 

Secara kode etik, meskipun mengutip dari karya diri sendiri yang sudah dipublikasikan sebelumnya tetap harus mencantumkan sumber sehingga tidak dianggap melakukan plagiat pada karya sendiri (self plagiarisme). 

Dikutip melalui artikel ilmiah berjudul Self-Plagiarism dalam Dunia Akademik Ditinjau dari Perspektif Pengaturan Hak Cipta di Indonesia yang dipublikasikan di Jurnal Legalitas (Jurnal Hukum), plagiarisme dan self plagiarisme sama-sama perbuatan melanggar etika. 

Jadi, pelaku dari tindakan ini tetap akan menerima sanksi sebagaimana pelaku plagiarisme. Dalam lingkungan akademik, sanksi kepada pelaku terbilang cukup berat mulai dari skors bagi mahasiswa yang melakukan plagiarisme, pemberian surat teguran, sampai pemecatan jika pelakunya adalah kalangan dosen. 

Sementara jika ditinjau dari segi hukum, tindakan self plagiarisme yang juga termasuk tindakan plagiarisme adalah tindak pelanggaran hak cipta. Pelaku akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: 

  • Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak lima ribu rupiah: 
    • Barang siapa menaruh suatu nama atau tanda secara palsu di atas atau di dalam suatu hasil kesusasteraan, keilmuan, kesenian dan kerajinan atau memalsu nama atau tanda yang asli dengan maksud supaya karenanya orang mengira bahwa itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya olehnya ditaruh di atas atau di dalamnya tadi; dan
    • Barang siapa dengan sengaja menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan ke Indonesia, buah hasil kesusastraan, kesenian, keilmuan, dan kerajinan yang di dalamnya atau di atasnya telah ditaruh nama atau tanda yang palsu atau yang nama dan tandanya yang asli telah dipalsukan seakan-akan itu benar-benar buah hasil orang yang nama atau tandanya telah ditaruh secara palsu tadi. 
  • Jika buah hasil itu kepunyaan terpidana, boleh dirampas. 

Jadi, meskipun plagiarisme dan self plagiarisme berbeda dari segi karya siapa sayang dijiplak (plagiarisme adalah menjiplak karya orang lain sementara self plagiarisme adalah menjiplak karya sendiri). 

Keduanya sama-sama menjadi pelanggaran kode etik penulisan karya ilmiah sehingga pelakunya bersalah dan diberi sanksi. Oleh sebab itu, godaan untuk menulis ulang karya diri sendiri sebaiknya diimbangi dengan sitasi untuk menghindari kasus self plagiarisme. 

Baca juga artikel seputar “sitasi”:

Kasus Self Plagiarisme di Kalangan Akademisi

Salah satu contoh kasus self plagiarisme yang sempat menjadi perbincangan masyarakat luas (terutama kalangan akademisi) adalah kasus yang menimpa rektor USU (Universitas Sumatera Utara) di tahun 2020 lalu. 

Dikutip melalui salah satu artikel di laman The Conversation, guru besar tersebut diduga melakukan self plagiarisme untuk meraih jabatan fungsional guru besar. Kala itu, juga baru saja resmi terpilih menjadi rektor USU (Universitas Medan Area) untuk periode 2021-2026. 

Tuduhan ini muncul karena guru besar tersebut diketahui mempublikasikan disertasi S3 miliknya ke 4 jurnal berbeda dan memiliki tingkat kemiripan 72-91%. Satu judul artikel ilmiah terbit bersamaan di 4 jurnal berbeda. Kasus ini lantas mencuri perhatian dan menjadi kontroversi karena belum pernah terjadi sebelumnya. 

Dikutip melalui website resmi Tempo, kasus self plagiarisme ini berakhir dengan keputusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menyatakan guru besar USU ini tidak bersalah. 

Penyidikan dilakukan Kemendikbud dan menemukan bahwa artikel ilmiah yang dipublikasikan ke 4 jurnal berbeda bersifat open acces dan hak cipta masih dipegang dosen tersebut sehingga tidak bisa disebut pelanggaran hak cipta sebagaimana kasus plagiarisme pada umumnya. 

Lain halnya jika artikel tersebut hak cipta dipegang pihak penerbit (pengelola jurnal), maka pelaku akan terbukti melakukan pelanggaran hak cipta. Dengan demikian, guru besar tersebut diputuskan tidak bersalah. 

Meskipun begitu, bersumber dari kasus ini, pihak Kemendikbud kemudian melakukan revisi terhadap aturan mengenai plagiarisme, termasuk penetapan kasus self plagiarisme akan terjadi jika pelaku tidak lagi memegang hak cipta atas karya tulis yang sudah dipublikasikan. 

Selain itu, self plagiarisme termasuk dalam pelanggaran kode etik penulisan karya ilmiah sehingga pelakunya juga akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan ini membuat self plagiarisme juga dilarang sebagaimana pada plagiarisme. 

Baca juga jenis plagiarisme hingga cara menghindarinya:

Alasan Kenapa Sebaiknya Tidak Berlebihan dalam Mengutip Karya Sendiri

Dari contoh kasus self plagiarisme di atas maka bisa dipahami jika kasus ini berawal dari publikasi ganda. Namun bentuk self plagiarisme bisa karena bentuk lainnya. Misalnya dengan melakukan tindakan text recycling atau daur ulang karya tulis. 

Ada proses mendaur ulang karya lama untuk dipublikasikan kembali. Jika tidak ada perbedaan signifikan dan ada penambahan aspek baru, maka sudah termasuk self plagiarisme. 

Menghindari risiko terlibat kasus self plagiarisme dan dampak yang ditimbulkan, Anda perlu melakukan antisipasi sejak awal. Usahakan untuk membuat kutipan atas karya sendiri tetap melakukan sitasi (mencantumkan sumber) dan tidak berlebihan. 

Apapun faktor dan bentuk kasus self plagiarisme, usahakan untuk dihindari karena dampak yang ditimbulkan memang cukup besar dan merugikan. Dikutip dari berbagai sumber, berikut adalah sejumlah alasan kenapa self plagiarisme perlu dihindari: 

1. Bukti Dosen Kehilangan Minat untuk Berkarya 

Mengutip karya sendiri secara berlebihan dan tak lagi mencantumkan sumber adalah bentuk self plagiarisme. Jika hal ini terjadi maka artinya seorang dosen sudah kehilangan minat bahkan kemampuan untuk berkarya. 

Dalam pengabdiannya, seorang dosen diharapkan rutin melakukan penelitian untuk mendapatkan temuan-temuan baru yang memajukan IPTEK. Temuan ini akan menjadi unsur unik dari setiap karya tulis yang dipublikasikan. 

Jika hanya ada aksi menjiplak karya sendiri, sama artinya dosen tersebut tidak lagi memiliki minat dan kemampuan untuk berkarya dan menghasilkan temuan baru. 

2. Termasuk Pelanggaran Hak Cipta 

Alasan yang kedua kenapa dosen perlu menjauhi segala bentuk kasus self plagiarisme adalah karena termasuk pelanggaran hak cipta. Kasus seperti ini akan menjadi nyata saat hak cipta tidak lagi dipegang dosen selaku penulis. 

Melainkan dipegang oleh pihak penerbit, baik itu penerbit buku maupun pengelola jurnal. Jika dilakukan pengutipan berebihan pada karya sendiri maka akan menjadi bentuk pelanggaran hak cipta. 

Kasus ini akan berujung pada tuntutan hukum secara pidana dan sanksi yang diberikan mengacu pada KUHP. Salah satunya pada pasal yang dijelaskan di awal sehingga ada risiko pelaku menerima hukuman kurungan sampai denda. 

3. Merusak Reputasi Akademik Dosen 

Alasan ketiga kenapa kasus self plagiarisme dan plagiarisme jenis lain perlu dihindari adalah karena bisa merusak reputasi. Dosen dipahami sebagai profesi yang mengemban tugas sebagai pendidik sekaligus ilmuwan. 

Biasanya dosen mengenyam pendidikan sangat tinggi bahkan sampai jenjang paling tinggi, yakni S3, sehingga menjadi pakar di bidangnya dan apa yang disampaikan ke masyarakat dan dilakukan (tindakan) adalah sebuah teladan. 

Namun, ketika dosen melakukan sebuah kasus dan berujung pada tuntutan pidana sampai pencopotan jabatan sebagai efek plagiarisme maka reputasi dosen selaku sumber teladan tersebut akan hilang dalam sekejap. 

Kenali 8 faktor penyebab plagiarisme. Apakah faktor-faktor tersebut juga Anda temukan? Yuk, kenali faktor pemicu plagiarisme agar Anda tidak terjerumus dan terkena sanksi plagiarisme!

4. Merusak Integritas Dosen

Dosen selaku pendidik sekaligus ilmuwan diharapkan masyarakat luas menjadi pribadi yang berintegritas sehingga selalu menjaga sikap jujur dan bertanggung jawab atas segala sesuatunya. 

Plagiarisme termasuk tindakan yang tidak berintegritas karena tidak jujur usai mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri. Plagiarisme terhadap karya orang lain dan karya sendiri yang didaur ulang sudah mencoreng integritas dosen. 

Jika sudah dipandang sebagai dosen tanpa integritas maka temuan dan hasil kerja keras dosen di masa mendatang akan dianggap sebagai daur ulang. Hal ini tentu akan mengancam dosen tersebut kehilangan kepercayaan publik dalam jangka panjang. 

5. Merusak Tujuan Fundamental Karya Tulis 

Alasan kelima kenapa self plagiarisme jangan sampai dilakukan doen adalah karena bisa merusak tujuan fundamental dari karya tulis. Secara umum, tujuan fundamental karya tulis yang dipublikasikan adalah menyampaikan informasi kepada publik. 

Informasi ini tentu saja diharapkan dan bahkan wajib informasi baru, bukan informasi lama dan hasil daur ulang agar terkesan baru. Jika dosen mendaur ulang karya lamanya maka sama artinya tidak mencapai tujuan fundamental karya tulis. 

6. Menerima Sanksi Akademik 

Jika memang menjadi pelaku self plagiarisme, Anda harus paham ada risiko besar menghampiri. Salah satunya menerima sanksi akademik dan menjadi alasan kenapa kasus seperti ini perlu dihindari jauh-jauh. 

Sebab menerima sanksi akademik akan berdampak sangat besar bagi karir sampai psikis dosen itu sendiri. Sanksi ini bisa dalam kategori ringan, sedang, sampai berat tergantung pada skala kasus yang dilakukan. 

Namun seringan apapun satu sanksi tentu akan menjadi jejak yang terus diingat semua orang, terutama orang di satu lingkungan. Sehingga sanksi sosial akan lebih abadi dibanding sanksi akademik itu sendiri. Bagaimana mental dosen jika menghadapinya? 

7. Kesulitan untuk Mengurus Publikasi 

Alasan ketujuh kenapa self plagiarisme jangan sampai Anda lakukan adalah karena akan menyulitkan proses publikasi di masa mendatang. Reputasi pelaku tentu akan hancur dalam sekejap dan jejaknya bertahan sangat lama. 

Nama pelaku tentu akan diingat oleh berbagai pihak, termasuk pengelola media publikasi baik itu penerbit, pengelola jurnal, dan sebagainya. Hal tersebut mengakibatkan naskah yang dikirimkan untuk publikasi akan dicurigai. 

Selain itu, berkaca dari kasus yang sudah lewat biasanya penerbit akan enggan menerima naskah dari mantan pelaku. Membersihkan nama baik ternyata memang tidak mudah sehingga self plagiarisme sebaiknya tidak pernah dilakukan. 

8. Karir Akademik Hancur 

Seorang dosen tentu tahu betul dan memahami beratnya perjuangan membangun karir. Apalagi jika dosen tersebut non PNS dan mengabdi di PTS kecil, sudah tentu akan sangat menilai semua pencapaiannya sangat berharga, sekecil apapun pencapaian tersebut. 

Namun, ketika terlibat kasus self plagiarisme maka karir yang sudah dibangun tersebut bisa saja tamat. Sebab ada risiko menerima sanksi pemecatan dan tidak mungkin bisa kembali menjadi dosen bahkan di kampus lain. 

9. Kehilangan Kepercayaan Diri 

Alasan lain kenapa kasus self plagiarisme sebaiknya dihindari adalah untuk mencegah kehilangan kepercayaan diri. Jika terus dilakukan maka akan kehilangan kepercayaan diri bahwa mampu menulis dengan buah pikiran sendiri tanpa daur ulang karya lama. 

Jika terbukti menjadi pelaku self plagiarisme, Anda dijamin tidak lagi memiliki “muka” (kepercayaan diri) untuk bertemu dosen lain. Sebab Anda paham betul bahwa reputasi dan karir akademik yang dibangun sudah hancur. 

Oleh sebab itu, dibanding harus menanggung risiko psikis berat seperti ini. Akan lebih baik jika dosen berhati-hati dalam menjalankan kewajiban akademik, khususnya publikasi. Lebih baik pelan tapi pasti dibanding sukses menjadi guru besar di usia muda tapi hasil plagiarisme. 

Menghindari self plagiarisme bersifat wajib, ikuti

Melalui penjelasan di atas tentang kasus self plagiarisme dan pentingnya menghindari tindakan ini sejak dini. Tentunya menjadi salah satu sumber motivasi bagi para dosen untuk selalu berkarya dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri. 

Hal ini memang cukup sulit dan memakan waktu lebih dibanding copy paste karya sendiri. Namun, karir akademik menjadi lebih aman dan prestasi yang diraih tidak akan hilang dalam sekejap karena terhindar dari kasus pelanggaran etika. 

Bagaimana ancaman tindak plagiarisme di lembaga Anda?

Yuk, bagikan artikel ini ke rekan dosen Anda lainnya agar tidak terjerat kasus self plagiarisme. Semoga bermanfaat.

Mau menulis tapi waktu Anda terbatas?

Gunakan saja Layanan Parafrase Konversi!

Cukup siapkan naskah penelitian (skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah atau naskah lainnya), kami akan mengonversikan jadi buku yang berpeluang memperoleh nomor ISBN!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dapatkan informasi terbaru dari kami seputar promo spesial dan event yang akan datang

logo deepublish

Penerbit Deepublish adalah penerbit buku yang memfokuskan penerbitannya dalam bidang pendidikan, pernah meraih penghargaan sebagai Penerbit Terbaik pada Tahun 2017 oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI).

Kritik/Saran Pelayanan  : 0811-  2846 – 130

Alamat Kantor

Jl.Rajawali G. Elang 6 No 3 RT/RW 005/033, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman, D.I Yogyakarta 55581

Telp/Fax kantor : (0274) 283-6082

E1 Marketing : [email protected]
E2 Marketing : [email protected]

© 2024 All rights reserved | Penerbit Buku Deepublish - CV. Budi Utama