Daftar Isi
Unsur intrinsik dan ekstrinsik merupakan unsur penting yang diperlukan dalam untuk menulis atau membangun karya sastra. Biasanya, hal ini sangat penting diperhatikan oleh para penulis karya sastra atau pengarang karya sastra.
Unsur intrinsik dan ekstrinsik menjadi oembangun cerita atau karya sastra sehingga terbentuklah suatu karya yang bisa dinikmati pembaca. Di bawah ini akan dijelaskan secara mendetail tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Menurut Pradopo, unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra merupakan memiliki ciri yang konkret. Ciri-ciri tersebut meliputi jenis sastra (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra.
Selanjutnya, analisis struktur intrinsik menurut Sangidu disebut sebagai pendekatan struktural dan strukturalisme. Strukturalisme merupakan suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa struktur yang saling berkaitan satu sama lain, termasuk adanya unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam membuat karya.
Unsur intrinsik menurut Ratna meliputi tema, tokoh, gaya bahasa, alur, dan sebagainya.
Adanya teori strukturalisme memberi penekanan analisis yang terbentuk dari unsur intrinsik. Menurutnya, unsur intrinsik meliputi plot, penokohan, latar, tema, amanat, sudut pandang, dan gaya bahasa.
Unsur intrinsik dalam novel atau cerpen merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur tersebut selanjutnya memiliki kepaduan dan akhirnya membangun inti cerita.
Menurut Rokhmansyah, unsur ekstrinsik merupakan unsur yang berasal dari luar cerita. Unsur ekstrinsik karya sastra biasanya meliputi unsur biografi, unsur psikologis, keadaan lingkungan, dan pandangan hidup dari pengarang.
Unsur ekstrinsik menurut Kosasih berisi tentang latar belakang pengarang, kondisi sosial budaya, dan tempat novel dikarang.
Senada dengan Kosasih, Nurgiyantoro mengungkapkan unsur ekstrinsik meliputi keadaan subjektivitas pengarang, biografi pengarang, keadaan psikologi, dan kondisi lingkungan pengarang.
Menurut kritikus sastra Rene Wellek dan Austin Warren, unsur ekstrinsik merupakan situasi subjektif pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang dituangkan ke dalam karya sastra.
Tak hanya itu, Wellek dan Warren juga membagi adanya empat faktor ekstrinsik di dalam karya sastra di antaranya:
Bahwa sebuah karya dari pengarang tidak lepas dari pengarangnya. Karya-karyanya nantinya dapat ditelusuri melalui biografinya.
Aktivitas psikologis pengarang pada suatu waktu tertentu akan membawanya menciptakan karya, terutama dalam pengembangan ide cerita dan penokohannya.
Adanya pengaruh sosial budaya dalam diri pengarang dan sosial budaya yang relevan di masyarakat akan membawa potret atau cermin dalam cerita. Misalnya profesi, intuisi, problematika masyarakat, hubungan manusia satu dan lainnya, dan sebagainya.
Baca Juga:
Dari pengertian di atas, tentu ada perbedaan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur-unsur yang membangun karya sastra. Biasanya unsur ini secara langsung membangun cerita demi cerita sehingga karya sastra terwujud.
Sementara unsur ekstrinsik, merupakan unsur-unsur yang ada di luar karya sastra. Tetapi secara tidak langsung adanya unsur intrinsik dan ekstrinsik juga memengaruhi bangunan dan struktur sistem karya sastra.
Meski memiliki perbedaan, unsur intrinsik dan ekstrinsik adalah unsur penting yang saling berkaitan dan tak boleh diabaikan dalam membuat suatu karya sastra. Unsur intrinsik dan ekstrinsik merupakan kesatuan yang mampu memproduksi karya sastra atau cerita dengan baik dan tepat.
Salah satu perbedaan unsur intrinsik dan ekstrinsik adalah ciri-cirinya. Pada unsur intrinsik, salah satu cirinya adalah adanya tema. Tema sebagai pembangun karya sastranya.
Menurut Nurgiyantoro (2009), tema merupakan makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Tema merupakan sebuah makna cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana.
Karya sastra yang baik merupakan karya sastra yang memiliki makna dan dapat dipahami sebagai gagasan pokok dalam sebuah cerita. Sehingga tema kurang lebih bersinonim dengan ide pikiran atau tujuan utama cerita.
Selanjutnya, tema akan membawa karya sastra memiliki makna yang dapat diambil dan dipelajari oleh pembacanya.
Perbedaan ciri-ciri kedua pada unsur intrinsik dan ekstrinsik pada unsur intrinsik adalah adanya latar. Dalam membangun unsur intrinsik dalam sebuah cerita yakni latar. Latar meliputi tempat, waktu, maupun keadaan yang menimbulkan peristiwa dalam sebuah cerita.
Latar juga biasanya menggambarkan suatu kondisi fisik dan sebuah latar bukan hanya bersifat fisikal untuk membuat cerita menjadi logis.
Meski demikian, latar dalam suatu cerita tetap menggambarkan suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau keingintahuan pembaca.
Menurut Panuti Sudjiman, seorang akademisi Sastra Indonesia, secara sederhana latar cerita bisa dikatakan sebagai keterangan, petunjuk, dan pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra, baik novel maupun cerpen.
Latar dibagi menjadi dua yakni latar fisik dan spiritual. Meski seolah tak ada perbedaan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik, tetapi ada perbedaan pada latar yang dibuat oleh penulis.
Latar fisik terdiri dari waktu dan tempat. Contoh latar tempat biasanya dijelaskan nama kota, desa, jalan, sungai, dan sebagainya. Latar waktu biasanya menyebut tahun, tanggal, pagi, sore, atau malam, dan sebagainya.
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa tersebut terjadi dan kaitannya dengan jalan cerita. Latar tempat biasanya menggambarkan di mana peristiwa tersebut terjadi dan konflik apa yang terjadi di dalam cerita tersebut.
Sementara latar spiritual berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat tersebut. Biasanya latar spiritual disebut dengan latar sosial. Hal ini tentu sangat berhubungan dengan dibentuknya unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam suatu karya sastra.
Alur atau plot adalah kerangka dasar suatu tindakan yang berkaitan satu sama lain dalam sebuah karya sastra, baik novel maupun cerpen. Alur akan menjadi pengiring jalannya cerita dan dapat mengembangkan imajinasi yang disajikan.
Alur juga akan menjadi harmonisasi lika-liku kejutan di dalam cerita dan menjadi kekuatan terbesar pada suatu karya sastra. Umumnya, plot novel atau cerpen tidak sederhana karena pengarang sengaja menyusunnya berdasarkan kaitan sebab-akibat.
Alur merupakan hal pendukung unsur intrinsik dan ekstrinsik yang menciptakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan peristiwa dalam menjalin suatu cerita. Alur kemudian juga dibagi menjadi tiga hal, menurut Nurgiyantoro, di antaranya:
Alur maju juga disebut sebagai alur progresif. Alur maju biasanya menyajikan cerita secara berurutan mulai dari tahap perkenalan hingga tahap penyelesaiannya. Cerita yang disajikan dengan alur maju biasanya tidak terlalu berat dan lebih mudah dipahami. Meski begitu, alur ini tetap akan mengejutkan pembaca.
Alur mundur merupakan proses susunan cerita yang tidak urut atau tidak runtut. Alur mundur biasanya disebut alur regresif yang menceritakan kisah mulai dari konflik dan dilanjutkan dengan penyelesaian.
Selanjutnya, penulis akan kembali menceritakan latar belakang timbulnya konflik yang terjadi dalam karya sastra tersebut. Dalam artian, penulis atau pengarang akan menceritakan masa lalu dan menunjukkan klimaks di awal.
Hal yang menarik dalam alur mundur adalah adanya rahasia besar yang akan diungkap oleh penulis. Urutannya biasanya tak krognitif, dengan tahapan: akhir, antiklimaks, klimaks, peruwitan, dan awal.
Alur campuran adalah gabungan antara kedua alur sebelumnya yakni alur maju dan alur mundur. Alur ini biasanya diawali dari klimaks cerita kemudian melihat lagi masa lampaunya. Selanjutnya cerita dilanjutkan sampai pada penyelesaian.
Dalam alur ini, penulis lebih banyak menceritakan tokoh utama. Tahapan cerita pada alur campuran ini mulai dari klimaks, peruwitan, awal, antiklimaks, dan penyelesaian.
Berbeda dengan alur mundur, alur sorot balik ini akan membawa pembaca ke akhir cerirta lalu kembali ke awal cerita. Penulis atau pengarang bisa memulai cerita dari klimaks, kemudian kembali ke awal cerita menuju akhir cerita.
Adanya alur akan menguatkan unsur intrinsik dan ekstrinsik sebuah cerita atau karya sastra.
Tokoh atau penokohan dalam unsur intrinsik yang membangun suatu karya sastra biasanya adalah individu rekaan semata. Meski begitu, individu atau tokoh yang biasa digambarkan dalam suatu karya sastra tidak hanya sebatas wujud manusia saja, tetapi juga bisa berwujud hewan, tanaman, atau benda yang mewakili jalannya sebuah cerita.
Tentu saja penokohan juga mendukung unsur intrinsik dan ekstrinsik di dalam sebuah karya sastra atau cerita. Biasanya tokoh atau penokohan dapat berupa kata ganti yang menunjukkan pemeran, seperti “aku”, “kamu”, “dia”, “mereka”, dan lain sebagainya. Penggunaan tersebut akan memperjelas sudut pandang penceritaan dalam karya sastra.
Ada dua pembagian tokoh dalam cerita, yakni:
Dalam sebuah karya sastra, biasanya ada dua jenis tokoh yang pertama adalah tokoh utama. Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Tokoh utama biasanya paling sering diceritakan atau diperlihatkan dalam cerita tersebut.
Beberapa cerita bahkan menampilkan tokoh utama dalam semua kejadian cerita, mulai dari awal hingga akhir.
Tokoh pendamping atau tambahan atau istilahnya tokoh pembantu merupakan tokoh yang tidak sepenting tokoh utama. Meski demikian, tokoh utama membantu menunjang tokoh utama dalam cerita tersebut.
Perwatakan dalam unsur intrinsik sebuah karya sastra masih berhubungan dengan penokohan. Berbeda dengan pendukung unsur intrinsik dan ekstrinsik yakni penokohan yang dibagi menjadi dua bagian tokoh yang berbeda, dalam perwatakan dibagi menjadi tiga perwatakan.
Perwatakan di dalam suatu tokoh berguna untuk menggambarkan sifat atau watak tokoh yang memerankan atau diceritakan dalam karya sastra tersebut. Menurut Wicaksono (2017), tokoh adalah pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah sifat yang dilekatkan pada diri tokoh, penggambaran, atau pelukisan mengenai tokoh cerita.
Sementara itu menurut Nurgiyantoro (1998), tokoh cerita dapat menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampaian pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan nilainya kepada pembaca.
Perwatakan seorang tokoh dalam cerita biasanya dibedakan menjadi beberapa sifat berbeda di antaranya:
Tokoh protagonis merupakan tokoh yang memiliki sifat positif di dalam sebuah cerita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu sesuai pandangan dan harapan pembaca sehingga dapat menyita empati dan perhatian pembaca.
Kontras dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis atau tokoh yang memiliki sifat negatif. Tokoh antagonis biasanya akan menimbulkan konflik dalam cerita. Penggambaran wataknya yang buruk akan membuat pembaca membenci tokoh ini sehingga dalam beberapa cerita, penulis atau pengarang hanya memberi porsi cukup dan tidak berlebihan pada tokoh antagonis ini.
Perwatakan dalam tokoh yang selanjutnya yakni tokoh tritagonis yang merupakan tokoh dengan sifat penengah atau netral. Nantinya, tokoh tritagonis ini akan menjadi pendamai dan jembatan yang menyelesaikan konflik dalam sebuah cerita.
Tokoh figuran memang tak selalu ada di dalam cerita. Tetapi perlu diketahui bahwa tokoh figuran merupakan tokoh atau peran yang meski kurang berarti tetapi dapat menjadi peran pembantu. Berbeda dengan tiga tokoh sebelumnya, tokoh figuran digolongkan dalam jenis tokoh berdasarkan tingkat pentingnya suatu peran.
Adanya penokohan merupakan cara pengarang dapat menggambarkan karakter tokoh di dalam cerita tersebut yang terdiri dari karakter tokoh, watak, dan ciri fisik tokoh. Perawatakan pada suatu tokoh ini merupakan unsur yang harus ada sebagai pendukung unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Sudut pandang biasanya digunakan penulis atau pengarang untuk menyampaikan pesan dalam cerita. Penulis atau pengarang akan mengklasifikasikan pencerita atau tokoh yang menyampaikan cerita melalui sudut pandang orang pertama atau sudut pandang orang ketiga.
Untuk mendukung terpenuhinya unsur intrinsik dan ekstrinsik pada karya sastra atau cerita, ada dua pembagian sudut pandang tersebut dibagi lagi menjadi sudut pandang tergantung sebagai pelaku dalam cerita, seperti berikut.
Sudut pandang orang pertama biasanya menggunakan kata “aku” untuk menggambarkan tokoh. Biasanya, sudut pandang orang pertama dapat muncul sebagai pelaku utama maupun pelaku sampingan.
Sudut pandang orang pertama pelaku utama mengisahkan tentang berbagai peristiwa yang dialami seorang tokoh.
Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan dalam sebuah cerita biasanya hadir hanya untuk membawa cerita pada pembacanya. Kemudian, penulis akan menggambarkan tokoh cerita yang dikisahkan untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalaman di cerita tersebut. Tokoh yang dibiarkan mengisahkan sendiri ceritanya merupakan tokoh utama.
Sudut pandang orang ketiga serba tahu menceritakan semua hal yang dilihat, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Penulis biasanya menceritakan hal apa saja yang menyangkut tokoh dan kemudian disebut “dia” pada sudut pandang ini.
Berbeda dengan sudut pandang orang ketiga serba tahu, sudut pandang orang ketiga pengamat ini hanya menceritakan hal yang dialami tokoh di dalam cerita saja dan terbatas pada seorang tokoh saja.
Sama halnya seperti penokohan, perwatakan merupakan unsur penting yang membangun keterpaduan unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra atau cerpen.
Dalam sebuah unsur intrinsik, amanat merupakan pesan moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis atau pengarang kepada pembaca. Amanat biasanya disampaikan secara implisit atau eksplisit.
Amanat yang disampaikan secara implisit sifatnya tersirat atau tidak langsung diceritakan dan digambarkan dalam suatu cerita. Pembaca harus dapat mengambil amanat itu sendiri melalui peristiwa dan tingkah laku tokoh menjelang cerita atau karya sastra berakhir.
Sementara itu, amanat yang bersifat eksplisit biasanya disampaikan secara langsung oleh pengarang baik di tengah cerita atau di akhir cerita. Penulis atau pengarang akan menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, ujaran, larangan, dan sebagainya secara langsung, sehingga pembaca tak perlu menganalisis sendiri amanat ceritanya.
Tak hanya di dalam unsur intrinsik dan ekstrinsik, sebuah amanat dalam karya sastra diciptakan untuk menyentuh emosi pembaca dan membuat pembaca berada di dalam cerita tersebut.
Karena pentingnya unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam menciptakan karya sastra atau cerita, maka dua hal tersebut tak bisa dilepaskan. Adanya unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya sastra atau cerita memang tak bisa dilepaskan satu sama lain.
Setelah mengetahui tentang berbagai hal mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam karya sastra atau cerita, berikut ini unsur ekstrinsik yang tidak boleh diabaikan oleh penulis saat menciptakan karya.
Dalam menciptakan suatu karya sastra baik cerpen atau novel, penulis atau pengarang akan menciptakan latar belakang yang kemudian akan menjadi sebuah unsur ekstrinsik dalam karya. Tujuan dibuatnya latar belakang adalah mengaitkan maksud cerita dengan tujuan dibuatnya karya sastra tersebut.
Untuk mendukung adanya latar belakang penciptaan karya, dibutuhkan juga adanya latar belakang pengarang. Unsur ekstrinsik yang satu ini biasanya berkaitan dengan kondisi sosial atau kondisi tertentu seorang penulis.
Dalam menciptakan suatu karya, penulis juga biasanya mengaitkan kondisi masyarakat ketika karya tersebut dibuat. Apakah relevan dengan kondisi saat itu atau berseberangan.
Penulis atau pengarang juga memiliki kondisi psikologis tertentu yang dapat memengaruhi bagaimana latar belakang karya tersebut terbentuk.
Hampir sama dengan amanat, meski tak tersirat di dalam tulisan tetapi nilai-nilai dalam cerita menjadi unsur ekstrinsik yang dipakai penulis atau pengarang untuk membangun suatu cerita. Unsur ini digunakan agar cerita sampai dan dapat diterima pembaca.
Tak jauh berbeda, unsur intrinsik dan ekstrinsik memang memiliki amanat dan nilai dalam cerita untuk membangun dan mengembangkan karya sastra atau cerita.
Adanya nilai-nilai dalam cerita ini akan membangun emosi pembaca sehingga pembaca merasa dekat dengan karya tersebut. Biasanya penulis juga menyisipkan banyak pelajaran yang ia alami atau ia lihat dalam karyanya.
Tentu saja adanya unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membentuk karya sastra atau cerita bukan dibuat semata-mata tanpa alasan. Manfaat unsur intrinsik dan ekstrinsik pada tahap inteprestasi.
Unsur intrinsik dan ekstrinsik, khususnya unsur intrinsik untuk memahami cara penyair membangun karya sastra atau ceritanya melalui unsur kebahasaan. Sementara unsur ekstrinsik berguna untuk membantu memahami latar belakang hingga cara berpikir penulis atau pengarang menyajikan karya.
Artikel Terkait :
21 Jenis Novel Berdasarkan Genre
Judul Buku dan Novel yang Menarik
Cara Riset untuk Menulis Novel
Dalam suatu penelitian kualitatif, bagian atau tahapan yang umumnya dipandang sulit oleh peneliti adalah analisis…
Melakukan studi literatur dalam kegiatan penelitian adalah hal penting, salah satu teknik dalam hal tersebut…
Dalam menyusun suatu kalimat, seorang penulis tentu perlu menghindari kalimat tidak padu. Kalimat jenis ini…
Salah satu teknik penentuan sampel penelitian adalah cluster random sampling. Sesuai namanya, teknik ini masuk…
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menjadi perbincangan hangat usai menerbitkan surat pengumuman berisi penolakan dicantumkan sebagai…
Dalam penelitian, peneliti perlu memahami cara menghitung sampel penelitian yang tepat. Sebab, sampel penelitian menjadi…